
Sekilas tentang Bahasa Melayu Kuno
Berbagai pustaka telah membuktikan bahwa bahasa Melayu merupakan akar bahasa Indonesia. Bahasa Melayu adalah basantara (lingua franca) atau bahasa perhubungan. Namun, tahukah Kerabat Nara bahwa bahasa Melayu juga memiliki periodisasinya sendiri?
Bahasa Melayu yang digunakan dan berkembang pada abad ke-7 hingga ke-14 disebut sebagai Bahasa Melayu Kuno. Cukup sulit untuk menemukan rujukan terbaru yang meneliti awal kemunculan dan ciri-ciri bahasa Melayu Kuno. Satu-satunya sumber yang komprehensif sejauh penelusuran saya pada hari ini adalah buku Masa Lampau Bahasa Indonesia: Sebuah Bunga Rampai (1991) yang disunting oleh Harimurti Kridalaksana. Pada bab “Pertumbuhan Bahasa Melayu Menjadi Bahasa Dunia”, A. Teeuw membahas penelitian-penelitian terdahulu tentang bahasa Melayu Kuno yang menemukan kata mamawa (‘membawa’), mangujari (‘mengujari’), parvuatannya (‘perbuatannya’), niparsumpahkan (‘dipersumpahkan’), dan niujari (‘diujari’).
Para peneliti memang telah mengidentifikasi prasasti-prasasti berbahasa Melayu Kuno. Batu bersurat di Desa Sojomerto, dekat Pekalongan, Jawa Tengah, misalnya, menggunakan bahasa Melayu Kuno. Prasasti Manjucrigrha di Candi Sewu, Jawa Tengah, juga memuat bahasa Melayu Kuno. Di Jawa Tengah, ditemukan pula lempeng emas di Purbalingga, Prasasti Dieng, dan Prasasti Sang Hyang Wintang yang memanfaatkan bahasa Melayu Kuno.
Teeuw menegaskan bahwa era Melayu Kuno tidak dapat dipisahkan dari prasasti-prasasti Kerajaan Sriwijaya. Di sini, banyak ditemukan kosakata pinjaman Sanskerta. Ada dugaan bahwa prasasti tersebut ditulis oleh pejabat istana yang memiliki pengetahuan agama dan kebudayaan India (Hindu-Buddha). Bahkan, Sneddon (2003) dalam The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society mengatakan bahwa para biksu memasukkan kata-kata Sanskerta dalam prasasti untuk mengekspresikan kedalaman wawasan keagamaan mereka. Bahasa Sanskerta dinilai sebagai bahasa suci yang bisa meningkatkan kekuatan dan efektivitas pesan.
Lebih dari itu, kosakata Sanskerta juga digunakan untuk menunjang fungsi administrasi kerajaan. Barulah setelah itu, pinjaman-pinjaman kosakata tersebut diterima sebagai kata-kata biasa dalam bahasa Melayu, seperti bhakti (‘bakti’), danda (‘denda’), dan drohaka (‘durhaka’).
Pada lain sisi, Kridalaksana mengutip hasil dari berbagai penelitian yang menemukan pola-pola menarik dalam bahasa Melayu Kuno. Salah satunya adalah pola penggunaan kata yang. Kata tersebut sering kali mendahului nomina. Contohnya adalah yang wuatnya jahat (‘yang perbuatannya jahat’) dan subhiksa muah yang wanuannya parawis (‘yang daerahnya makmur pada seluruhnya’). Yang juga kerap mendahului verba, seperti pada yang marvudhi (‘yang bersekongkol’), yang nivava (‘yang membawa’), yang nitanam (‘yang ditanam’), dan yang manyuruh marjjahati (‘yang menyuruh berbuat jahat’).
Baik Teeuw maupun Kridalaksana belum berani mengatakan bahwa bahasa Melayu Kuno merupakan nenek moyang langsung bagi bahasa Melayu Klasik dan bahasa Melayu Modern. Pasalnya, dokumen-dokumen berbahasa Melayu begitu terserak dan sukar untuk dibaca.
Rujukan:
- Kridalaksana, Harimurti. (Ed). 1991. Masa Lampau Bahasa Indonesia: Sebuah Bunga Rampai. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
- Sneddon, James. 2003. The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society. Sydney: University of New South Wales.
Penulis: Yudhistira
Penyunting: Ivan Lanin
Bagaimana tanggapan Kerabat Nara?
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan
Artikel & Berita Terbaru
- Keterampilan yang Dibutuhkan Penulis Wara
- Empat Unsur Gramatika sebagai Kunci Kemampuan Menata Tulisan
- Bahan Pertimbangan sebelum Mengirim Artikel ke Jurnal
- Bjir dan Bjrot
- Penulisan Infografik yang Mencakup Semua Hal
- Berbahasa Indonesia, Sulit atau Mudah?
- Pola Frasa dalam Bahasa Kita
- Kelas Perdana Penulisan Skenario dalam Produksi Video
- Penulisan Mikrokopi UX yang Ramah Pengguna
- Kiat Penyusunan Dokumen untuk Konsultan Proxsis
- Penyunting yang Tak Sama dengan Penguji Baca
- Mengenal Penulisan Artikel dan Esai Lebih Dalam