Bagaimana reaksi Kerabat Nara ketika membaca judul di atas? Apakah Kerabat Nara heran karena mengira ada saltik pada kata pertamanya atau justru spontan menyanyikannya dalam hati? Yang jelas, itu bukan saltik. Sebabnya, jika memang benar begitu, saya bisa-bisa disidang oleh Uda Ivan Lanin. Lantas, mengapa saya menulisnya sebagai aasmara alih-alih asmara? Nah, itulah yang akan saya jelaskan.
Akhir-akhir ini saya kerap mendapatkan tugas untuk mencari padanan istilah asing. Berbagai sumber daring pun saya jelajahi, seperti SPAI, Kateglo, dan Glosarium. Selain itu, saya juga menelusurinya dalam buku-buku glosarium dan daftar istilah yang tersedia pada Repositori Kemdikbud.
Sewaktu iseng melihat-lihat isi Glosarium Linguistik (2002), saya menemukan ‘awasuara’ sebagai padanan dari devoice. Mulanya saya pikir itu adalah gabungan kata awas dan suara. Namun, jika demikian, maknanya berbeda dengan devoice. Lalu, di bawah istilah tersebut, saya mendapati ‘pengawasuaraan’ sebagai padanan dari devoicing. Setelah membaca itu, saya mencoba membedahnya menjadi unsur yang mungkin membentuknya, yaitu pe-an dan awasuara. Awasuara saya bagi menjadi awa dan suara. Berdasarkan itu, saya menduga bahwa awa adalah bentuk terikat karena jika bukan, ia tidak digabung dengan suara. Namun, apakah ada bentuk terikat awa- dalam bahasa Indonesia?
Ternyata awa- memang ada. KBBI mencatatnya dengan arti ‘hilang; bebas dari’. Contoh kata yang dibentuknya adalah awahama yang berarti ‘bebas dari hama penyakit’.
Pada lain kesempatan, ketika membaca Glosarium Sastra (2002), saya menjumpai ‘tanama’ sebagai padanan anomien dan anomymus—yang saya duga sebagai saltik dari anonymus atau anonymous. Terlepas dari penulisannya yang seharusnya tannama atau memang tanama, saya mengenali bentuk terikat tan- di sana. Saya pun segera menyadari bahwa ternyata bahasa Indonesia memiliki beberapa bentuk terikat yang berfungsi sebagai pengingkar atau negasi.
Sebagian besar dari kita mungkin mengenal bentuk terikat non- (misalnya pada nonaktif dan nonblok) serta nir- (misalnya pada nirleka dan nirlaba). Keduanya berarti ‘tidak’, ‘bukan’, atau ‘tanpa’. Selain itu, ada pula in-, tak-, dan a- yang sama-sama punya arti ‘tidak’—serta arti ‘kekurangan’, ‘bukan’, dan ‘tanpa’ untuk a-. Jika dijumlahkan bersama awa- dan tan-, bentuk terikat pengingkar dalam bahasa Indonesia ada tujuh, setidaknya. Itu belum ditambah bentuk terikat lain yang bernada negatif, seperti anti-, kontra-, dan tuna-.
Begitulah hasil penelusuran iseng yang saya lakukan. Bagi Kerabat Nara yang berstatus mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia yang kesulitan mencari topik skripsi, bentuk terikat pengingkar dalam bahasa Indonesia itu mungkin dapat menjadi hal yang menarik untuk dibahas. Misalnya, Kerabat Nara dapat membicarakan tentang asal bentuk terikat itu: lebih banyak dari bahasa asing atau daerah. Lalu, jika masih bingung akan cara menyusun skripsi dan aspek-aspek di dalamnya, Kerabat Nara dapat mengikuti KDP Penulisan Skripsi untuk mendapatkan pencerahan.
Oh, iya. Berkaitan dengan mahasiswa, Narabahasa sedang membuka perekrutan pemagang, lo. Ketentuannya dapat Kerabat Nara baca pada media sosial Narabahasa.4
Kembali pada soal aasmara, sekarang Kerabat Nara tentu paham bahwa saya tidak melakukan salah tik. Aasmara dibentuk dari a- dan asmara. Jika dipikir-pikir lagi, dalam konteks memisahkan kita—pada lagu “Kehilangan” yang dipopulerkan oleh Firman Siagian, kata itu justru lebih masuk akal daripada asmara. Mana mungkin asmara dapat memisahkan? Yang memisahkan hanyalah aasmara, ketiadaan cinta. Oleh karena itu, sebaiknya kita dengarkan lagi lagu tersebut untuk membuktikan bahwa yang dinyanyikan Firman itu asmara atau aasmara. Yuk!