Saat ini, banyak rapat yang digelar secara daring. Supaya tidak lupa dengan pembahasan di dalamnya, kita tinggal meminta seorang administrator untuk merekam keberlangsungan rapat. Ketika mewawancarai narasumber secara tatap muka, kita pun memanfaatkan alat perekam suara.

Dahulu, sebelum teknologi hari ini ada, notulis, reporter, dan sekretaris melakukan pencatatan dengan menulis di atas kertas. Huruf yang digunakan adalah steno, yaitu lambang huruf yang dipendekkan dan disepakati pemakaiannya, terutama dalam bidang kesekretariatan dengan maksud agar dapat menulis cepat untuk kemudian ditransliterasikan secara lengkap dalam bentuk surat dan sebagainya. Orang yang menulis dengan huruf steno merupakan seorang stenografer. Sementara itu, stenografi adalah tulisan cepat dengan huruf steno.

Dalam persiapan kemerdekaan Indonesia, contohnya, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) memiliki tim stenografer yang andal. Mereka bertugas mencatat seluruh pembicaraan yang terjadi dalam rapat. Kala itu, tim stenografer PPKI dikepalai oleh Eliezer Karundeng yang lambat laun dikenal sebagai Bapak Stenografer Indonesia.

Dalam buku Stenografi di Perguruan Tinggi, Melizubaida Mahmud (2017) menuliskan bahwa stenografi bermanfaat untuk membantu seseorang dalam

  1. membuat hasil persidangan atau risalah lengkap;
  2. menyusun atau mencatat hasil sidang panitera di pengadilan;
  3. mencatat berita atau pesan melalui telepon atau yang berupa sandi-sandi;
  4. mencatat dikte atau perintah dari pemimpin atau direktur;
  5. mewawancarai narasumber;
  6. mencatat materi pembelajaran;
  7. mencatat hal-hal yang bersifat rahasia; dan
  8. mentranskripsikan rekaman rapat atau sidang.

Berdasarkan catatan sejarah, stenografi dianggap berasal dari tradisi Yunani Kuno pada abad ke-4 sebelum Masehi. Bahkan, jika ditarik lebih jauh lagi, masyarakat Mesir Kuno sudah menerapkan dua sistem penulisan yang berbeda demi memudahkan mereka dalam menulis cepat. Stenografi lantas mulai berkembang di Inggris pada 1588. Pelopornya adalah Timothy Bright. Lalu, pada 1824, F.X. Gabelsberger mengembangkan stenografi di Jerman. Di Perancis, tulisan cepat dipelopori oleh Able Duploge dan Prevost Delanncy pada 1878. Kemudian, di Indonesia, stenografi diprakarsai oleh Paat/Sabirin dan Eliezer Karundeng pada 1925. Sekarang, bersumber pada Surat Keputusan No. 51/1968, sistem stenografi yang berlaku di Indonesia adalah sistem Karundeng.

Berikut adalah abjad stenografi Karundeng yang saya ambil dari buku Stenografi di Perguruan Tinggi.

Setiap huruf steno harus ditulis persis seperti gambar di atas. Jika tidak, maknanya mungkin akan berubah, apalagi jika huruf steno ditulis secara tersambung. 

Stenografi juga sering kali berbentuk singkatan. Dalam bahasa Inggris, Grace Fleming (2019) memberikan contoh simbol @ untuk memaknai at, about, dan around; + untuk bigger, greater, dan increasing; rts sebagai results; serta ! sebagai surprise, shock, dan alarm.

Apakah stenografer masih dibutuhkan ketika kita sudah bisa mengetahui segalanya melalui rekaman? Di Old Bailey (Central Criminal Court), Inggris, peran stenografer pengadilan telah digantikan dengan perangkat perekaman audio secara digital. Pasalnya, selain lebih praktis, sistem seperti ini dinilai bisa mengurangi pengeluaran biaya. Namun, Sally Lines, seorang stenografer pengadilan di Old Bailey bilang bahwa perekaman digital tidak akan bisa menangkap situasi pengadilan dan gerak bibir. Hanya manusia, seorang stenografer, yang bisa melakukannya. Lebih lanjut, menurut Sorene yang melatih stenografer, terkadang di pengadilan ada seorang anak kecil yang bersaksi hanya lewat bisikan. Perangkat digital belum tentu mampu merekamnya.

Saya rasa, sama seperti kebanyakan perkembangan lainnya, ada unsur kemanusiaan yang hilang dari setiap kemajuan teknologi.

 

#steno #stenografi #stenografer

Rujukan:

Penulis: Yudhistira

Penyunting: Ivan Lanin