Saya menemukan satu artikel menarik di internet. Judulnya adalah “Writing through Self-doubt: a Lesson in Digging in and Letting Go” (2021) dan diramu oleh Trang N.P. Tran, seorang penulis, penerjemah, dan editor bahasa asal Vietnam. 

Tran menuliskan pengalamannya sewaktu mengikuti lomba penulisan esai. Dia mengaku bahwa dirinya kesulitan untuk berfokus pada satu ide pokok. Draf yang Tran kembangkan terkesan tidak tajam sebab banyak sekali gagasan yang beliau tumpahkan. Lebih dari itu, Tran juga merasa bingung untuk menentukan gaya penulisan. “Depending on which authors I am reading at any one time, my brain would eagerly copy their voices and want to express in a similar way,” tulisnya.

Saya kira, apa yang dialami oleh Tran adalah kegelisahan kita. Dalam arti, sebagai penulis, kita pasti pernah merasa kesulitan untuk meruncingkan satu topik dan menentukan gaya penulisan. Kita menulis terus-menerus tanpa tujuan, menggali referensi sebanyak-banyaknya tanpa batasan.

Suatu ketika, Tran membaca kiat-kiat menulis dari Amy Tan, seorang pengarang dari Amerika Serikat, berikut ini.

Remember a time when you thought you were going to die. That’s not what you’re going to write about. Remember another time when you thought you were going to die. Don’t write about that either. Think harder again, and ditch that idea too. Now go deeper into your memory one more time. Remember a time when you thought you were going to die. Now write about that time.”

Terjemahannya kurang lebih seperti ini.

“Ingatlah masa-masa ketika kamu kira kamu akan meninggal. Bukan itu topik yang akan kamu tulis. Ingatlah masa-masa lain ketika kamu kira kamu akan meninggal. Jangan kamu tulis topik tersebut. Coba pikir lagi dan buang ide itu. Sekarang, sekali lagi, selami memori kamu lebih dalam. Ingatlah masa-masa ketika kamu kira kamu akan meninggal. Tuliskanlah.”

Setelah membaca tips tersebut, Trang N.P. Tran tersadar bahwa sejauh ini, tulisannya hanya berputar di permukaan. Dia tidak bisa menentukan topik karena belum menggali dan menghayati sesuatu yang betul-betul mengganggu batinnya. Kiat dari Amy Tan membuat Tran menulis lebih banyak, mengumpulkan fragmen-fragmen ide, dan memadukannya sebagai kerangka. Bagi Tran, ide pokok, gaya penulisan, dan tujuan menulis dapat ditemukan dan diwujudkan dengan terus menulis.

Barangkali, sebagian dari kita akan berhenti menulis jika berhadapan dengan kebuntuan dan kebingungan serupa. Saya pun sering kali begitu. Namun, ternyata ada perspektif lain yang dapat membantu kita dalam mengatasi kuldesak tersebut, yaitu dengan melanjutkan tulisan.

Titik Balik, Titik Terang, dan Peristiwa Penting

Selain menawarkan solusi untuk mengatasi hambatan dalam menulis, ada aspek yang tidak kalah menarik dari tulisan Tran. Artikel Tran berbahasa Inggris, disusun dengan rapi serta kosakata yang indah. Saya tertambat pada satu istilah yang dia tuliskan, yakni watershed moment. Seusai mencerna petuah Amy Tan, Trang N.P. Tran menyatakan, “Reading this was my watershed moment, a validation and invitation to write more and dig further for the right story.

Sebelum memaknainya melalui mesin pencari, saya menebak-nebak, bahwa watershed adalah ‘tumpahan air’. Dengan begitu, watershed moment merupakan ‘momen yang membawa kesegaran’. Di sini, kesegaran dapat diasosiasikan dengan pencerahan. Kemudian, apabila dikaitkan dengan konteks kalimat Tran, saya menduga-duga, watershed moment adalah ‘kesempatan emas’, ‘titik balik’, atau ‘titik terang’. 

Saya lantas mencoba memastikannya melalui mesin pencari. Ternyata, secara harfiah, watershed adalah ‘batas air’ dan sering digunakan untuk mengartikan ‘daerah aliran sungai (DAS)’. Di luar itu, watershed moment merupakan sebuah idiom. Dalam kamus Cambridge, watershed berarti ‘an event or period that is important because it represents a big change in how people do or think about something’. Sementara itu, Merriam-Webster mencatat salah satu arti watershed moment sebagai ‘a crucial dividing point, line, or factor.

Mungkin, pada konteks yang positif, titik balik dan titik terang dapat menjadi padanan watershed moment. Namun, watershed moment pun dapat menggambarkan peristiwa yang tidak mengenakkan. Pandemi, contohnya, dianggap sebagai watershed moment karena membawa perubahan pada berbagai aspek kehidupan dan membawa kesedihan bagi sebagian besar umat manusia. Pemadanan yang saya rasa paling sesuai untuk idiom watershed moment adalah ‘peristiwa penting’, ‘momentum penting’, atau ‘tonggak sejarah’.

Menyimak Sekitar; Menuntaskan Tulisan

Dari pengalamannya, tersirat bahwa Tran merasa amat terbantu dengan kiat menulis dari Amy Tan. Tips menulis dari Amy Tan berdiri sebagai peristiwa penting yang mengubah perspektif Tran dalam menyelesaikan esainya. Perlu diingat, peristiwa penting tidak selalu berwujud nasihat, panduan, atau tips dari orang yang berpengalaman. Adakalanya, kita mesti menyimak segala hal di sekitar dengan lebih peka. Mungkin saja, iklan selintas di televisi, lagu-lagu yang biasa kita dengar, atau fenomena-fenomena keseharian bisa menjadi peristiwa penting yang membantu kita dalam menuntaskan sebuah tulisan.

Toh, pada akhirnya, menemukan dan mempelajari istilah watershed moment adalah peristiwa penting bagi saya untuk menyusun tulisan ini.

Rujukan:

Penulis: Yudhistira

Penyunting: Ivan Lanin