Lepas dari Belenggu Kaidah
Buku yang saya tuntaskan pada Maret 2023 ini adalah Tamasya Kota Pernia, sebuah kumpulan cerpen yang ditulis oleh Toni Lesmana. Beliau merupakan penulis kelahiran Sumedang yang menaruh perhatian besar terhadap kesusastraan Sunda. Buku ini memuat 21 cerpen yang dikarang oleh sang penulis pada kurun 2016 hingga 2017.
Saya ingat, pada 2011, saya pernah membaca salah satu cerpen Toni Lesmana dalam Harian Kompas. Cerpen yang berjudul “Malam di Kota Merah” itu, bisa dibilang, adalah karya yang membuka mata saya—yang waktu itu masih SMA—tentang indahnya sastra Indonesia. Betapa senangnya saya ketika mendapati “Malam di Kota Merah” dalam Tamasya Kota Pernia. Berikut saya kutip bagian kesukaan saya.
“Malam memerah. Jam bernyanyi. Orang-orang menari. Aku berdiri di pucuk air mancur. Menepati janji. Janji pada seseorang. Aku berdiri di pucuk air mancur menatap kota yang memerah. Menatap orang-orang yang mabuk dalam tarian. Aku melihat mereka semua, tapi mereka tak lagi dapat melihatku. Aku lenyap bagi mereka. Seperti dalam ramalan. Aku tersenyum sendiri. Asing sendiri.”
Bagi saya, “Malam di Kota Merah” merupakan cerpen yang begitu deskriptif. Sebagai pembaca, seluruh indra saya seolah didorong untuk masuk ke dalam cerita. Inilah sensasi yang saya ingat ketika saya membacanya untuk pertama kali pada 12 tahun yang lalu.
Lantas, adakah perspektif baru yang muncul dalam pembacaan saya pada rentang 12 tahun tersebut? Tentu saja ada. Saya mulai sensitif dengan efektivitas kalimat. Tamasya Kota Pernia adalah kumpulan cerpen dengan kalimat-kalimat yang rumpang, kalimat-kalimat yang belum selesai.
Kita lihat saja kutipan yang saya sertakan di atas. “Aku berdiri di pucuk air mancur menatap kota yang memerah. Menatap orang-orang yang mabuk dalam tarian” tersusun atas dua kalimat yang berbeda. Kalimat kedua menjadi tidak efektif karena ketiadaan subjek. Kedua kalimat tersebut dapat dilebur menjadi, “Aku berdiri di pucuk air mancur menatap kota yang memerah dan menatap orang-orang yang mabuk dalam tarian.”
Itu hanya satu contoh kalimat rumpang dalam “Malam di Kota Merah”. Percayalah, buku ini memuat cerpen-cerpen dengan banyak kalimat rumpang. Namun, kita sebaiknya berhati-hati dalam menilai. Jangan lupakan bahwa Tamasya Kota Pernia adalah karya sastra. Bahasa sebagai medium penyampainya dapat dibebaskan dari belenggu kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah.
Kerabat Nara mungkin sudah familier dengan lisensi puitis, yang menurut Sudjiman (1990) adalah ‘kebebasan pengarang untuk menyimpang dari kenyataan, dari bentuk atau aturan, untuk mencapai suatu efek’. Dalam definisi tersebut, kita perlu menggarisbawahi untuk mencapai suatu efek. Dengan kata lain, menyimpanglah dari aturan atau kebakuan selama kita sebagai penulis mengetahui tujuan yang hendak dicapai.
Pada cerpen “Malam di Kota Merah”, bagi saya, ketidakefektifan kalimat berhasil menciptakan ritme tersendiri: Malam memerah. Jam bernyanyi. Orang-orang menari. Aku berdiri di pucuk air mancur. Menepati janji. Janji pada seseorang. Kita bisa membayangkan seseorang yang sedang berbicara kepada dirinya sendiri melalui kalimat minor—kalimat yang tidak lengkap.
Terlebih, kalimat minor atau bentuk lisensi puitis lainnya dapat memperkuat karakterisasi penulis dan tokoh dalam cerita, sejalan dengan pernyataan Brandi Reissenweber (2020), “As a fiction writer, this puts you in a position where you have to make a choice: stay true to the guidelines of grammar or stay true to your character’s voice.”
Rujukan:
- Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
- Kridalaksana, Harimurti, dkk. 1985. Tata Bahasa Deskriptif Bahasa Indonesia: Sintaksis. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
- Lesmana, Toni. 2018. Tamasya Kota Pernia. Bantul: basabasi.
- Moeliono, Anton M., dkk. 2017. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi Keempat. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
- Reissenweber, Brandi. 2020. “Ask The Writer: Does my character’s voice need to be grammatically correct?”. The Writer. Diakses pada 30 Maret 2023.
- Sudjiman, Panuti. 1990. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).
Penulis: Yudhistira
Penyunting: Ivan Lanin
Daftar Tag:
Artikel & Berita Terbaru
- Tabah ke-145 bersama Alfan, Harapan III Duta Bahasa Nasional 2023
- Pelatihan Griyaan untuk DJKI: Belajar Menulis Berita yang Efektif
- Hadapi Tantangan Menyusun Laporan Tahunan bersama Narabahasa
- Tabah ke-144 bersama Luthfi, Harapan II Duta Bahasa Nasional 2023
- Dua Pekan Lagi Bulan Bahasa dan Sastra
- Griyaan Penulisan Wara Narabahasa untuk Kemenkeu
- Tabah ke-143 bersama Arianti, Harapan II Duta Bahasa 2023
- Bagaimana Anak Memperoleh Keterampilan Berbahasa?
- KDP Hadir Kembali: Kerinduan yang Sedikit Terobati
- Kreasi Konten Media Sosial Finalis Dubasnas 2024
- Menelisik Peran Nama pada Tempat melalui Kajian Toponimi
- Nilai Religius Ungkapan Kematian