Sewaktu menemani Arka, anak saya, belajar untuk persiapan ujian akhir bahasa Indonesia kelas 1 SD-nya, saya teringat dengan obrolan saya beberapa tahun yang lalu dengan Uni Elvi Susanti. Kala itu si Uni memaparkan kepada saya tentang empat keterampilan berbahasa: menyimak (mendengarkan), berbicara, membaca, dan menulis. Keempat keterampilan itu cukup nyata terlihat diajarkan dalam buku pelajaran Arka. Ia menyimak dongeng dari gurunya, berbicara tentang pengalaman liburannya, membaca cerita dalam buku, serta menulis jawaban soal yang diberikan.
Keempat keterampilan bahasa tersebut menggambarkan esensi dari bahasa, yaitu sarana untuk berkomunikasi. Sejak kecil kita sudah dilatih untuk berkomunikasi. Bayi mendengarkan bunyi dari lingkungannya dan belajar untuk memahami arti dari berbagai bunyi tersebut. Perlahan ia belajar berbicara untuk menyampaikan keinginannya atau menyapa orang tuanya. Beranjak besar, ia pun mulai belajar membaca dan menulis sebagai bentuk komunikasi dalam bahasa tulis. Dari rangkaian proses ini tampak bahwa bahasa lisan lebih dahulu dikuasai manusia dibandingkan dengan bahasa tulis.
Perkembangan internet dan jejaring sosial membuat bahasa tulis meraja. Mereka yang dapat menuliskan pikirannya, baik melalui tulisan blog maupun pembaruan status, akan muncul dominan di mayantara. Oh, ya. Mayantara adalah padanan untuk cyber yang, kalau tidak salah, diperkenalkan oleh teman-teman dari grup Tempo, tetapi belum “laku dijual” kepada para penutur bahasa Indonesia. Kembali ke topik awal, keterampilan menulis kini tampaknya dianggap merupakan keterampilan berbahasa yang paling perlu dikuasai. Hal ini pun tecermin dalam ujian bahasa Indonesia yang lebih banyak mengujikan teori-teori bahasa yang terkait dengan keterampilan menulis.
Keterampilan menulis tidak mungkin tumbuh sendiri tanpa diiringi dengan penguasaan keterampilan berbahasa yang lain. Sebagai penulis blog dan Wikipedia, saya sangat merasakan hal ini. Keterampilan membaca dan menyimak diperlukan untuk menggali sumber-sumber tulisan. Tanpa adanya kedua keterampilan ini, tulisan menjadi gersang dan rudin informasi. Di sisi lain, keterampilan berbicara diperlukan untuk mengungkapkan tulisan tersebut dalam diskusi atau presentasi. Tanpa adanya keterampilan ini, suatu gagasan yang telah dituliskan dengan baik tidak dapat dipertahankan atau disebarkan secara efektif melalui bahasa lisan.
Selagi membicarakan keterampilan berbicara, saya kadang merasa geli kala menonton reportase berita langsung seperti saat liputan mudik Lebaran beberapa waktu yang lalu. Para reporter yang diterjunkan ke lapangan umumnya adalah pewarta junior yang belum memiliki keterampilan berbicara yang baik. Berita yang mereka laporkan kerap disampaikan dengan gagap dan dengan struktur kalimat yang sulit dipahami. Padahal, keterampilan berbicara adalah modal utama bagi seorang reporter berita.
Pemahaman tentang keempat keterampilan berbahasa ini saya pikir sangat perlu untuk dimengerti. Seyogianya kita menguasai semua keterampilan ini, walaupun tentu saja tiap orang dapat memilih keterampilan mana yang lebih utama ingin ia kuasai. Saya pribadi merasa bahwa saya belum memiliki keterampilan berbicara yang baik. Oleh karena itu, saya selalu mencari kesempatan untuk meningkatkan keterampilan ini agar dapat berbicara dengan runtun dan efektif.