Salah pilih kata dapat mengakibatkan media massa beropini, bahkan melanggar asas praduga tak bersalah sehingga terjerumus ke dalam tindak peradilan oleh pers (trial by the press). Untuk menghindari itu, media harus berhati-hati memilih kata.
Salah satu kata yang perlu diwaspadai penggunaannya ialah berdalih. Pemakaian kata itu perlu diwaspadai karena makna yang dikandungnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring, berdalih berarti ‘mengemukakan alasan (yang dicari-cari) untuk menghindari tugas atau menutupi perbuatan yang salah atau tercela’. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952), definisi berdalih lebih negatif lagi: ‘menjembunjikan maksud jg sebenarnja (salahnja dsb) dng alasan jg dibuat-buat’.
Berdasarkan kedua kamus tersebut, berdalih menyiratkan makna bahwa orang yang disebut berdalih telah memiliki niat buruk untuk sembunyi tangan atas perbuatan buruk yang (diduga) dia lakukan. Makna kata itu mengandung prasangka dan tuduhan jika orang yang disebut berdalih belum atau tidak terbukti berdalih. Pertama, prasangka dan tuduhan bahwa dia berniat buruk. Kedua, prasangka dan tuduhan bahwa perbuatan atau perkataannya merupakan sesuatu yang sudah pasti buruk atau salah.
Dengan kata lain, ada vonis terhadap orang yang disebut berdalih. Maka, dengan kata berdalih, media telah berprasangka dan menuduh atau menyimpulkan bahwa perkataan yang dikatakan oleh orang yang disebut berdalih itu sebagai alasan untuk membenarkan perbuatannya atau menyembunyikan kesalahannya.
Lihatlah penggunaan berdalih dalam berita “Polisi: Pengedar sabu ditangkap berdalih dikendalikan narapidana” (Sultra.antaranews.com, 13 Februari 2023) ini.
Direktorat Reserse Narkoba Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tenggara menyebut seorang pria diduga pengedar sabu-sabu yang ditangkap di daerah Kabupaten Konawe, berdalih dikendalikan seorang narapidana di salah satu lapas yang ada di Sultra.
Dari mana si penulis berita tahu bahwa terduga pengedar sabu-sabu itu berdalih? Dalam berita itu tidak ada bukti yang menyatakan bahwa dia berdalih. Si terduga pengedar sabu-sabu hanya menyampaikan alasan. Dengan menyebut narasumber berdalih, penulis sudah menarik kesimpulan. Kesimpulan itu memuat opini yang mengandung prasangka dan tuduhan sekaligus vonis bahwa narasumber telah bersalah.
Meski berdalih dikatakan oleh narasumber, media sebaiknya menghindari kata itu untuk mencegah terjadinya tindak peradilan oleh pers. Caranya ialah menulis pernyataan narasumber dalam kutipan tidak langsung sehingga kata berdalih dapat diganti dengan kata lain. Jika terpaksa menggunakan kata berdalih karena dituturkan oleh narasumber dari kepolisian atau kejaksaan, media cukup menulisnya pada kutipan langsung.
Dengan menyebut si terduga pengedar sabu-sabu berdalih, media patut diduga telah melanggar asas praduga tak bersalah sebab belum ada putusan inkrah di pengadilan yang menyatakan bahwa dia tidak dikendalikan oleh seorang narapidana di salah satu lapas. Dalam asas praduga tak bersalah, setiap orang yang disangka, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, seperti yang tercantum pada Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dengan beropini dan melanggar asas praduga tak bersalah, media telah menabrak kode etik jurnalistik. Dalam Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik disebutkan bahwa wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tidak bersalah.
Karena telah melanggar asas praduga tak bersalah, media telah melakukan tindak peradilan oleh pers. Dengan demikian, media telah mengambil hak orang untuk tidak dicurigai dan dianggap tidak bersalah sebelum putusan inkrah.
Selain dalam berita hukum, berdalih digunakan dalam berita nonhukum, seperti dalam berita “Dalih Pemerintah soal 19 Tahun RUU PPRT Tak Kunjung Disahkan” (Tirto.id, 18 Januari 2023) berikut ini.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga menyampaikan alasan pemerintah dan DPR RI tak kunjung mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT). Ia berdalih penyelesaian RUU Perlindungan PRT bukan soal pembahasan substansi aturannya saja.
Tidak adil menuduh narasumber berdalih hanya karena dia menyampaikan alasan. Itu tindakan gegabah dan terlalu dini seolah-olah narasumber sudah pasti salah dan tidak boleh punya alasan untuk menjelaskan kinerjanya.
Dengan menggunakan kata berdalih, si penulis berita memvonis narasumber berbohong atau menutupi kebohongan sebagai upaya untuk membela diri. Mengapa media tidak membiarkan saja narasumber berbicara tanpa perlu memvonis dan menyimpulkan alasannya?
Agar aman, media sebaiknya memakai kata beralasan. Kata itu tidak memuat kecurigaan, prasangka, atau tuduhan. Biarkan pembaca yang menilai narasumber beralasan atau berdalih.