Sore ini tidak berjalan seperti biasa. Hujan turun dengan leluasa. Rekam peristiwa beberapa bulan silam kembali berputar di kepala. Saya yang baru saja selesai mengikuti pertemuan daring lantas bersandar di kursi kerja. Saya akui, suasana sore ini begitu mendukung saya untuk berleha-leha.  

Kembali pada ingatan akan peristiwa beberapa bulan silam, saya rasa ia masih ingin berlama-lama hinggap dalam lamunan. Sepertinya hujan pun demikian. Ia belum mau pulang ke peraduan. Saya enggan mengalah dalam khayalan. Akhirnya, saya beranjak untuk kembali membuka laptop dengan tujuan menghasilkan satu tulisan. 

Kalau Kerabat Nara berhasil membaca sampai paragraf ketiga ini, itu berarti tujuan yang saya buat-buat pada akhir paragraf kedua sudah mulai saya upayakan. Ingatan akan peristiwa beberapa bulan silam akan saya uraikan. Semoga ada amanat yang bisa Kerabat Nara dapatkan. Jika tidak, sudilah kiranya saya dimaafkan. 

Pada paragraf keempat ini, saya akan benar-benar bercerita. Cerita dimulai ketika saya mewawancarai salah satu kandidat pramubahasa.  Sebut saja A. Sosok A begitu optimistis—tergambar dari sorot matanya yang begitu menyala. Satu menit pertama, ia diminta mengenalkan dirinya. Satu menit berikutnya, saya mengetahui bahwa ia tinggal di pinggiran ibu kota.

 Cerita berlanjut ketika ia diminta menjelaskan hal-hal yang lebih mendetail, seperti pengalaman pekerjaan lamanya. Entah pada menit berapa, saya mulai risih menyimaknya. Ia kerap mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris yang lebih dominan dalam tuturannya. Saya menjadi kesulitan memahaminya. Padahal, ia tahu, saya pun penutur bahasa Indonesia, sama sepertinya. 

Do I need to speak in English with you?” ujar saya saat dipersilakan mengajukan pertanyaan.

“Maaf, Mbak, bahasa Indonesia saja. Saya tidak lancar berbahasa Inggris,” jawabnya kikuk. 

Penggunaan dua bahasa sekaligus dalam satu tuturan merupakan hal yang wajar sebagai dampak dari kondisi kedwibahasaan. Kita memang kerap mencampurkan unsur bahasa asing atau daerah ke dalam bahasa Indonesia saat bercakap. Hal itu bisa disebabkan oleh terbatasnya kosakata dalam bahasa Indonesia yang merujuk pada konsep spesifik yang dimaksud penutur. Sebab yang lain bisa berupa perubahan suasana percakapan. 

Dalam kajian linguistik, fenomena mencampurkan bahasa yang berbeda dalam satu tuturan dikenal sebagai alih kode (code-switching) dan campur kode (code-mixing). Alih kode dilakukan dengan maksud tertentu, sedangkan campur kode tidak selalu. Keduanya akan dibahas oleh Rahmat Petuguran dalam Selisik Kebahasaan (Lisan) Episode 7 dengan tajuk “Mengenal Alih Kode dan Campur Kode” pada 26 Oktober 2021.

Kerabat Nara bisa mendaftarkan diri dalam program Lisan #7 secara gratis melalui Sinara. Namun, jika membuka laman tersebut sekarang, mustahil Kerabat Nara bisa mendapati poster Lisan #7 karena kami belum mengunggahnya. Yang akan Kerabat Nara temui justru kelas-kelas daring praktis dalam rangka menyadarkan seluruh Kerabat Nara di Indonesia bahwa #kitaadalahpejuang. Kerabat Nara juga akan menemui Festival Berbicara dan Festival Menulis, dua subfestival yang belum terselenggara dari rangkaian Festival Tetralogi. 

Kembali pada cerita saya tadi, saya dan si A tetap melanjutkan percakapan dalam bahasa Indonesia. Kami berdua merupakan penutur bahasa Indonesia dan sedang berada dalam situasi wawancara pekerjaan. Tidak ada alasan bagi kami untuk menduakan bahasa Indonesia dalam tuturan yang kami produksi. Sebagai penutup cerita, saya berharap kita akan bertemu dalam Lisan #7, Festival Tetralogi, serta kelas-kelas daring praktis Narabahasa. Semoga YME mengiyakan harapan saya.