Jagat media sosial beberapa waktu lalu dikejutkan oleh fenomena seorang pemuda yang mampu menghasilkan uang lebih dari satu miliar dari swafotonya. Ghozali, sosok “sultan” baru itu, berhasil menjual 933 swafotonya—yang ia ambil sejak 2017 hingga 2021—di OpenSea, salah satu lokapasar NFT. Banyak orang, termasuk saya, terheran-heran atas hal tersebut. Lebih lanjut, saya pun penasaran akan NFT itu sendiri.

Saya pertama kali membaca kata NFT pada salah satu kiriman ilustrator favorit saya. Itu terjadi kira-kira pertengahan tahun lalu. Sejak itu, saya merasa kata tersebut bertebaran di mana-mana. Namun, saya tak berminat untuk mengetahui NFT lebih jauh hingga fenomena Ghozali itu viral.

Menurut Nadya Olga Aletha dari Center for Digital Society dalam “Memahami Non-Fungible Tokens (NFT) di Industri CryptoArt” (2021), NFT atau token nontukar adalah “sertifikat keaslian unik pada blockchain yang biasanya dikeluarkan oleh pencipta aset”. Jadi, bayangkan ada suatu sistem besar pada dunia maya. Karya-karya yang ditaruh (diperdagangkan) pada sistem itu mendapat kode unik. Kode unik itulah NFT. Fungsinya berkaitan dengan sisi ekonomi dan hak cipta dari suatu karya. 

Setelah perlahan-lahan memahami NFT, saya berkunjung ke OpenSea. Di sana saya melihat begitu banyak karya seni, seperti gambar, foto, dan musik. Kemudian, saya bertanya dalam hati: Apakah karya seni kata-kata tidak bisa dijual?

Dengan melihat keterbatasan ruang pada platform itu, karya berupa novel atau cerpen tentu tidak atau belum bisa diperjualbelikan. Namun, mari kita pertimbangkan frasa puitis, peribahasa, dan puisi (yang pendek pastinya). Kreasi seni kata-kata tersebut sangat mungkin untuk dibuat dan dijual. Bahkan, sebagai bukti, Mark Cuban—seorang pengusaha dari Amerika Serikat—menjual kata-kata motivasinya senilai Rp23,8 juta. Selain itu, terlepas dari soal seni atau tidaknya, twit pertama Jack Dorsey (Mantan Direktur Utama Twitter) mendapatkan tawaran hingga Rp35 miliar. 

Mungkin Kerabat Nara berkata, “Ya, tentu saja harganya tinggi. Penciptanya kan merupakan orang-orang terpandang.” Baiklah, itu memang benar. Akan tetapi, apakah Ghozali seterkenal sekarang ketika menjual swafotonya?

Lalu, hal lain yang membuat kata-kata sangat berpotensi untuk diperjualbelikan adalah sifatnya yang kolaboratif. Kata-kata bisa dipasangkan dengan apa pun, misalnya pada karya seni visual. Di samping itu, kata-kata yang indah dapat menjadi nilai tambah pada sebuah ilustrasi atau bahkan foto.

Meskipun demikian, kita mesti ingat bahwa seni dihasilkan dari kekreatifan pikiran, kesegaran ide, dan ketekunan usaha. Tidak semua karya kata-kata akan laku sebagaimana tidak semua swafoto dapat menghasilkan kekayaan. Perlu ada pengorbanan dan secuil keberuntungan.

Yang jelas, keberadaan NFT, khususnya untuk karya seni, merupakan bukti bahwa perkembangan teknologi dewasa ini sangat cepat. Kita sering kali dituntut untuk mampu mengikuti perkembangan tersebut. Namun, tidak dapat dimungkiri, terkadang kita bingung mulai dari mana.

Kita bisa memulainya dengan mempelajari hal yang sudah eksis cukup lama, tetapi tetap seksi hingga hari ini, yaitu UI/UX. Terlebih, UI/UX ternyata juga berkaitan erat dengan seni kata-kata. Kerabat Nara penasaran? Coba ikuti kelas Kiat Menyusun Mikrokopi UI/UX dari Narabahasa yang akan diselenggarakan pada Senin depan, 31 Januari 2022. 

Menutup Januari dengan patah hati itu biasa. Menutup Januari dengan ikut kelas Narabahasa? Itu baru luar biasa.