“Sekarang sepertinya membenci lebih gampang daripada mengasihi, ya?” Ujaran itu terngiang dalam kepala saya. Semalam seorang teman lama menghubungi saya melalui telepon. Kami berkawan akrab sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama. Namun, karena kesibukan dan jarak yang tidak lagi bersahabat, kami sudah jarang bertukar cerita.
Seperti biasanya, ia menelepon saya tanpa basa-basi. Ucapan pertama yang keluar dari mulutnya bukanlah sapaan hangat, seperti hai, asalamualaikum, dan sepada, melainkan arahan kepada saya untuk mengatur napas dengan teknik 4-7-8. Anehnya, tanpa banyak bertanya, saya mengikuti arahannya.
Kami berbincang selama hampir empat jam, bertukar kabar dan cerita. Kami tertawa, menangis, hingga kemudian terdiam dalam waktu yang cukup lama. Dalam keheningan itu, ia kemudian berkata, “Kenapa, ya, rasanya sekarang orang-orang mudah sekali membenci. Mereka dengan mudah berbicara buruk tentang orang lain dan menyebarkannya di media sosial. Apa namanya? Ujaran kebencian, ‘kan?” Saya mengiyakan dan manggut-manggut mendengarkan celotehnya.
Saya memang kerap merasa gelisah ketika berseluncur di dunia maya akhir-akhir ini. Berita duka, kerusuhan, bencana alam, dan bencana lainnya silih berganti hadir di setiap platform. Orang-orang mengungkapkan betapa sedih dan muramnya hari-hari mereka. Namun, hebatnya, dengan segala hal tersebut, ternyata masih ada beberapa orang yang memiliki tenaga untuk menuliskan ujaran kebencian terhadap satu sama lain.
Ujaran kebencian merupakan sebuah ekspresi—berupa tulisan atau lisan—yang mengandung unsur kebencian terhadap orang lain. Ujaran kebencian mencakup bahasan yang sangat luas, mulai dari ucapan kasar, ucapan kebencian, perkataan bias yang ekstrem, hingga hasutan kebencian yang berujung pada kekerasan. Ujaran kebencian biasanya hanya bersumber dari satu pihak, tetapi dampaknya dapat meluas ke berbagai pihak karena adanya “energi” hasutan di dalamnya.
Ujaran kebencian sebenarnya sudah diatur dalam UU ITE Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2). Pasal 45A ayat (2) menyatakan, “Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”. Namun, UU ITE sendiri kerap dianggap bias dan multitafsir karena—salah satunya—rasa benci dianggap sangat subjektif bagi sebagian orang. Artinya, ketika saya membenci sesuatu, belum tentu orang lain juga merasakan yang sama. Begitu juga sebaliknya.
Tidak banyak orang yang mengetahui bahwa sebenarnya ada cabang ilmu yang dapat membuktikan makna kebencian dalam suatu ujaran, yaitu linguistik forensik. Linguistik forensik merupakan cabang linguistik yang mempelajari dan mengkaji bahasa dalam ranah hukum. Saletovic dan Kisicek (dalam Santoso, 2013) menyatakan bahwa linguistik forensik adalah cabang dari linguistik terapan yang mengkaji antara interaksi, bahasa, kriminalitas, dan hukum. Dengan bantuan para pakar linguistik forensik, penegak hukum dapat menentukan dengan adil apakah suatu ujaran mengandung makna kebencian atau tidak.
Pekan lalu, Narabahasa mengadakan acara Selisik Kebahasaan (Lisan) dengan tajuk “Mengenal Linguistik Forensik” bersama Prof. Dr. Andika Dutha Bachari, S.Pd., M.Hum. Kerabat Nara yang tertarik, tetapi terlewat untuk menyaksikannya, dapat menyimak kembali acara tersebut pada kanal YouTube Narabahasa.
Kembali ke celetukan teman saya yang bertanya perkara membenci lebih gampang daripada mengasihi, saya rasa itu tidak sepenuhnya benar dan tidak pula sepenuhnya salah. Semua hal yang kita saksikan, terutama di media sosial, sesungguhnya dapat kita pilah sesuai keinginan kita. Jika ujaran kebencian terlalu sering berkeluyuran di beranda, mungkin itu tandanya Kerabat Nara harus mengambil napas sejenak dan mulai mengambil sikap: mengabaikannya atau menikmatinya.
Bagi saya, semua hal itu harus dimulai dari diri sendiri. Maka, setidak-tidaknya, mari pastikan bahwa diri kita tidak memperkeruh keadaan yang serba sulit ini dengan menyebarkan ujaran kebencian kepada orang lain. Sebarlah kasih karena kita lebih membutuhkannya.