Sebelumnya saya sudah sempat menyinggung bahwa berdasarkan pemaparannya, wacana dapat diklasifikasikan lebih lanjut menjadi wacana naratif, deskriptif, ekspositoris, argumentatif, persuasif, hortatoris, dan prosedural. Kemudian, apabila ditilik berdasarkan fungsinya, wacana dapat dibedakan menjadi wacana ekspresif, fatis, informasional, estetik, dan direktif. Setiap jenis wacana tersebut memiliki struktur penyampaiannya sendiri-sendiri.

Selayaknya kalimat, wacana sebagai satuan bahasa tertinggi juga memiliki struktur. Ketika sedang mengikuti sebuah kelas, misalnya, interaksi antara guru dan murid digolongkan sebagai wacana interaksi kelas. Pada umumnya, pelajaran dibuka dengan proses transfer ilmu, dilanjutkan dengan pertukaran gagasan lewat diskusi, dan ditutup lewat ajakan untuk bertindak atau mengamalkan pengetahuan tersebut. Sementara itu, berita-berita yang dipublikasikan dalam media massa sering kali memanfaatkan struktur wacana piramida terbalik, yakni dimulai dari kesimpulan serta dilanjutkan dengan penjelasan dan analisis.

Di luar itu, menurut saya, yang tidak kalah menarik untuk dikaji adalah struktur dalam pendekatan wacana kritis yang lazimnya menyorot wacana lisan. Tokoh linguistik yang sering dibicarakan dalam bidang ini adalah Teun A. van Dijk. Analisis wacana kritis bertujuan mendedah hubungan wacana dengan kekuasaan, dominasi, dan struktur sosial. Dengan kata lain, analisis wacana kritis berfokus pada konteks.

Van Dijk membagi struktur dalam wacana kritis menjadi makro, superstruktur, dan mikro. Pada tahap makro, analisis wacana berupaya mengkaji makna umum pada suatu teks dengan memahami topiknya. Kemudian, superstruktur melihat sebuah teks berdasarkan alurnya, yakni pendahuluan, isi, dan penutup. Sementara itu, struktur mikro menganalisis pemilihan kata, penggunaan kalimat, dan gaya penulisan dalam sebuah wacana. Ketiga struktur tersebut saling berhubungan.

Ada beberapa penelitian yang memanfaatkan model analisis wacana kritis van Dijk. Pada 2012, Aisyah menemukan ideologi kultural dalam cerita “Wejangan Aneh”. Lalu, Arsyandikayani dan Sumarlam (2019) pada “Wacana Opini People Power, Akhirnya Akan Mencari Legitimasi Konstitusional (Pendekatan Analisis Wacana Kritis Van Dijk)” mengupas salah satu tulisan dalam media Detik yang membicarakan istilah people power setelah Pemilu 2019. Keduanya meneliti lewat analisis struktur wacana kritis.

Dengan mengetahui struktur dalam analisis wacana kritis, kita tidak hanya dapat memahami pemaknaan sebuah teks secara harfiah. Lebih dari itu, kita dapat membedah ideologi dan konteks sosial yang melatari sebuah wacana, sebagaimana tulisan van Dijk: konteks memainkan peranan yang fundamental dalam sebuah tuturan atau teks. 

 

 

Rujukan:

  • Aisyah, A. 2012. “Struktur Cerita Wejangan Aneh”. Dalam Jurnal Retorika, Volume 8, Nomor 2, Agustus, hlm. 79–83. Makassar: Universitas Negeri Makassar.
  • Arsyandikayani dan Sumarlam. 2019. “Wacana Opini People Power, Akhirnya Akan Mencari Legitimasi Konstitusional (Pendekatan Analisis Wacana Kritis Van Dijk)”. Dalam Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, Volume 19, Nomor 2, Oktober, hlm. 164–172. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
  • Dijk, Teun A. van (ed). 1997. Discourse as Structure and Process. London: SAGE Publication. 
  • Kushartanti, dkk. (ed). 2005. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

 

Penulis: Yudhistira

Penyunting: Ivan Lanin