Saat ini, saya jarang menemukan seseorang yang masih menggunakan pena dan kertas dalam proses menulis, apalagi dalam ranah profesional. Tugas-tugas saya sebagai seorang penulis dan editor bahasa pun bisa diselesaikan secara praktis dengan laptop atau komputer. Bahkan kalau mendesak, ponsel pintar jadi jalan tikus untuk mengetik. Betul, dewasa ini saya rasa menulis sama dengan mengetik.
Suatu hari, seorang atasan saya bertanya, “Sudah selesai pekerjaanmu?” Saya jawab, “Sudah. Baru saja selesai saya tik.” Dia terheran-heran.
Kata dasar mengetik adalah tik. Ketika suatu kata dengan satu suku kata bertemu imbuhan me- atau pe-, terjadi pemunculan fonem /ŋ/ dan /e/. Oleh karena itu, meskipun kata dasarnya adalah bom dan cat, keduanya berubah ketika mengalami afiksasi sehingga menjadi mengebom, mengecat, pengebom, dan pengecat.
Munculnya fenomena diketik, menurut Kridalaksana (2010), adalah sebuah derivasi balik, yakni pembentukan kata karena pengguna bahasa tidak memahami unsur-unsurnya. Dapat dibilang, derivasi balik terjadi karena kita tidak mengetahui bentuk dasar dari sebuah kata.
Boleh jadi, diketik hadir karena asumsi bahwa mengetik terbentuk dari me- + ketik sehingga memicu peluluhan fonem /k/. Hal ini terjadi ketika kita menganggap ketik sebagai bentuk dasar. Lebih lanjut lagi, jika diketik adalah bentuk pasif mengetik, bukankah sebaiknya kita juga menemukan dikebom atau dikecat, alih-alih dibom dan dicat?
Ada bagusnya kita tidak malas untuk selalu mengecek bentuk dasar sebuah kata.
Rujukan:
Kridalaksana, Harimurti. 2010. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Penulis: Yudhistira
Penyunting: Ivan Lanin