Pembentukan istilah dalam bahasa Indonesia selalu memantik respons tertentu. Sebagian orang merasa antusias dan berbangga hati untuk menggunakannya. Ada pula yang malas menggunakannya karena menganggap pembentukan suatu istilah terlalu dipaksakan. Namun, saya rasa memang sudah semestinya perkembangan zaman memicu diskusi. Hal-hal yang baru dipahami seolah menuntut kesepakatan bersama.
Sebenarnya, pembentukan istilah dalam bahasa Indonesia sudah mempunyai pedoman. Pada 1975, Pedoman Umum Pembentukan Istilah lahir dan terakhir kali disempurnakan pada 2004. Badan Bahasa menyatakan bahwa istilah adalah kata atau frasa yang dipakai sebagai nama atau lambang yang mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Perlu diketahui, kita akan menggunakan bahasa Melayu, bahasa-bahasa daerah, dan bahasa-bahasa asing yang sering digunakan sebagai bahan dasar pembentukan sebuah istilah.
Fenomena peristilahan yang menarik untuk dibahas adalah pemadanan. Pada umumnya, pemadanan istilah dapat dilakukan melalui empat pendekatan. Pertama, melakukan penerjemahan langsung, seperti skyscraper menjadi pencakar langit. Kedua, melakukan penerjemahan yang membutuhkan perekaan, seperti invention menjadi reka cipta. Lalu, yang ketiga–barangkali merupakan pendekatan yang cukup rumit–adalah penyerapan istilah. Banyak syarat yang dibutuhkan dalam menyerap istilah, seperti istilah yang diserap akan meningkatkan ketersalinan kedua bahasa secara timbal balik, dianggap lebih ringkas, atau tidak mengandung konotasi buruk. Pada pendekatan ini, kita bisa mengambil contoh kata kamera dari camera dan desain dari design.
Selain itu, pembentukan istilah dalam bahasa Indonesia juga dapat dilakukan melalui pendekatan perekaciptaan. Biasanya, pendekatan ini dilakukan oleh atau bersama praktisi pada bidangnya masing-masing, misalnya seniman yang membuat istilah dalam dunia seni, ilmuwan mencetuskan istilah keilmiahan, dan sebagainya. Contoh yang sudah dilakukan misalnya pondasi cakar ayam, tebang pilih–dalam ranah kehutanan, tanam mundur, dan serbuk sari–dalam ranah botani.
Sedikit pengingat, bahasa terikat pada evolusi. Ada istilah yang muncul dan intens digunakan pada masa tertentu. Mungkin saja, istilah akan terus berkembang hingga mencapai bentuk yang kompleks. Kemungkinan lainnya, istilah-istilah yang kurang memiliki kegunaan praktis hanya akan terekam di kamus, tanpa pengguna, lalu punah terkikis waktu. ‘Kan, kita tidak bisa serakah menggunakan semua istilah yang ada? Kita hanya bisa memilah dan memilih istilah yang sebaiknya dilestarikan dan berani meninggalkan yang sudah tidak relevan.
Rujukan: Pedoman Umum Pembentukan Istilah: Edisi Ketiga. 2007. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
Penulis: Yudhistira
Penyunting: Harrits Rizqi
2 komentar
Terima kasih atas ilmunya…
Ini pembahasan yang menarik… Saya sendiri terkadang bingung menyikapi perubahan bahasa yang ada… Di satu sisi kedinamisan kehidupan membuat bahasa selalu berkembang bahkan bertransformasi, hal tersebut sungguh wajar. Akan tetapi, seolah kita dihadapkan dengan pilihan antara jati diri (atau egoisme?) atau kemudahan tercapainya fungsi bahasa sebagai bentuk komunikasi agar segala pemikiran dan perasaan dapat tersalurkan dengan baik dan tepat. Di sisi lain, rasanya jua tak ingin bahasa yang ada menjadi kenangan dalam kamus apalagi sampai lenyap…
Teman pun begitu. Ada yang terus berhubungan dengan kita; ada pula yang akhirnya hilang. :)