Beberapa waktu belakangan, lini masa Twitter saya ramai dengan ketidaksukaan sebagian netizen terhadap lagu “Asmalibrasi” karya Soegi Bornean. Ada yang bilang bahwa lagu tersebut terlalu sering diputar di ruang publik, seperti kafe, padahal picisan. Ada juga yang mengatakan bahwa liriknya tidak logis. Perbincangan makin seru ketika sejumlah media massa mewawancarai jurnalis musik dan pegiat bahasa untuk membahas lirik “Asmalibrasi”.

Nuran Wibisono, misalnya, seorang penulis dan jurnalis menyatakan bahwa “Lirik juga kan bisa berupa fantasi. Band prog rock banyak yang ngomongin monster-monster medieval, misalnya. Jadi enggak perlu logis juga.”

Kemudian, Djoko Santoso dalam tulisannya pun mengungkapkan, “Terlepas dari itu semua, menjawab pertanyaan ‘apakah lirik lagu harus bermakna lugas dan harus runut agar mudah dipahami?’, jawabannya tidak selalu. Penulis lirik bebas menuliskan liriknya. Penulis lirik punya cara untuk mencurahkan isi hati dan kepalanya tentang keresahannya.”

Lagi pula, sorotan beberapa netizen terhadap logis atau tidaknya larik asmara telah terkalibrasi frekuensi yang sama sempat dibahas oleh Irvan Kartawiria, seorang dosen bidang kimia, dalam utasnya di Twitter. Yang saya tangkap dari twit beliau, lagu ini semestinya bisa mengantarkan kita pada pertanyaan yang lebih asyik untuk dibahas: Bagaimana cara mengukur cinta? Apa satuannya?

Pertama-tama, mari kita samakan persepsi mengenai kalibrasi. Banyak sekali definisi kalibrasi—yang sebagian besar bakal bikin kita tambah bingung. Maka, saya mencoba untuk mengutip pengertian umum dari Merriam-Webster. Calibrate sebagai verba transitif memiliki arti (1) ‘to ascertain the caliber of (something)’; (2) ‘to determine, rectify, or mark the graduations of (something, such as a thermometer tube)’; (3) ‘to standardize (something, such as a measuring instrument) by determining the deviation from a standard so as to ascertain the proper correction factors’; (4) ‘to adjust precisely for a particular function; dan (5) to measure precisely’.

Dalam “Asmalibrasi”, yang menjadi satuan untuk mengukur atau menstandardisasikan asmara adalah frekuensi. Tentu bukan ranah saya untuk membuktikan kebenaran tersebut. Namun, apabila kita menganggap cinta atau asmara sebagai sesuatu yang abstrak, baris tersebut dapat kita lihat sebagai sebuah majas.

Ayo Suwaryo dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Stilistika Lirik Lagu ‘Asmalibrasi’ Karya Soegi Bornean” berargumen bahwa larik yang sedang kita bahas merupakan majas metafora. Dia menulis, “Majas metafora tergambar pada bait pertama terutama pada frasa ‘asmara terkalibrasi’. Pada frasa tersebut membandingkan sifat dari kata ‘asmara’ dengan sesuatu yang dapat ditakar.”

Lebih dari itu, menurut saya, frasa asmara terkalibrasi juga dapat mencerminkan majas perbandingan unsur abstrak-konkret. Majas ini merupakan subklasifikasi dari majas metafora. Asmara mewakili unsur abstrak dan terkalibrasi mencerminkan proses yang konkret.

Ingat, metafora adalah majas perbandingan. Asmara telah terkalibrasi merupakan perbandingan antara unsur abstrak dan konkret. Ada banyak alasan untuk menjalin cinta dengan orang yang kita dambakan, bisa karena kesamaan selera makanan, musik, film, atau buku. Lambat laun, kesamaan tersebut dapat menumbuhkan perasaan cinta yang setara, terkalibrasi, sebuah standar untuk berjalan menuju janji yang kekal, sebagaimana ditulis dalam lirik “Asmalibrasi”.

 

Rujukan:

 

Penulis: Yudhistira

Penyunting: Ivan Lanin