Saat ini, saya sedang membaca Kubah, sebuah novel gubahan Ahmad Tohari yang pertama kali terbit pada 1980. Seperti membaca Ronggeng Dukuh Paruk (1982), saya lagi-lagi dibuat terkesima dengan diksi-diksi Tohari, terutama dalam menggambarkan flora dan fauna.

Saya lantas terpicu untuk mengetahui Ahmad Tohari lebih jauh, bukan untuk menyoal karyanya, melainkan pandangan hidupnya sebagai seorang manusia. Pada 2019, Mufti Wibowo sowan ke kediaman Ahmad Tohari. Dalam tulisannya, Wibowo menyatakan, 

“ … Ahmad Tohari berbicara dengan bahasa persatuan itu sekaligus dengan luwes menyisipkan kosakata-kosakata Penginyongan yang tak ditemukan padanannya dalam bahasa Indonesia. Kami terkejut, tapi lebih tepat disebabkan rasa lega. Kami, yang semestinya menjadi penghubung generasi yang mewariskan nilai-nilai tradisi, merasa tak kuasa. Kami yang tinggal di tengah keramaian Purwokerto telah dipaksa melupakan karakter cablaka yang menjadi ruh budaya Banyumasan, yang konon tercermin dari bahasanya.”

Ahmad Tohari lahir di Jatilawang, Kabupaten Banyumas. Pasalnya, masyarakat Banyumas punya karakter cablaka. Dalam penelitiannya (2007), Sugeng Priyadi menulis bahwa “Cablaka sering diartikan sebagai karakter yang mengedepankan keterusterangan masyarakat Banyumas.” Priyadi menduga bahwa secara etimologi, cablaka berasal dari bocah blaka, berhubungan dengan anak-anak yang berbicara apa adanya. Sementara itu, Mardiwarsito (1979) dalam Febriani (2018) menulis, “ … kata blaka berasal dari bahasa Jawa kuno, yakni ‘balaka’ dan juga bahasa Sansekerta ‘walaka’ yang bermakna terus terang, jujur, lurus, tanpa ditutup-tutupi.”

Sekilas, kita dapat mengasosiasikan cerminan bahasa dalam karakter cablaka dengan kata blak-blakan. Kamus kita mengartikan blak-blakan sebagai ‘tidak ada yang ditutup-tutupi atau disembunyikan; terus terang; terbuka’. Tidak bisa dimungkiri, dengan bicara secara blak-blakan, mitra tutur dapat merasa sakit hati. Hal ini diungkapkan dalam penelitian Priyadi, yaitu bahwa masyarakat Banyumas, apabila dilihat dari luar, seolah tidak memiliki unggah-ungguh atau tata krama. Dalam level tertentu, blak-blakan dapat dianggap sebagai kelugasan dan kekurangajaran.

Saya penasaran, apakah cablaka dan blak-blakan sama dengan cablak? Ternyata, cablak memaknai ‘bermulut besar’. Kata ini, dalam kamus kita, dicatat sebagai serapan dari Melayu Jakarta. Bermulut besar sendiri mengartikan ‘suka membual’.

Kerabat Nara barangkali pernah dengar istilah nyablak. Kata ini sering kali dikaitkan kepada masyarakat Betawi yang berbicara secara terang-terangan. Kita bisa lihat, hal ini sebetulnya bersinggungan dengan karakter cablaka dan kata blak-blakan. Namun, beberapa tulisan yang saya baca justru berpandangan bahwa nyablak berasal dari cablak.

Jika ingin berpegangan pada makna, semoga tulisan ini dapat memberi batasan yang jelas mengenai cablaka, blak-blakan, cablak, nyablak. Cablaka, blak-blakan, dan nyablak memiliki konsep yang serupa. Pada lain sisi, cablak berbanding terbalik.

 

Rujukan:

  • Febriani, Meina. 2018. “Cablaka: Penghela Kejujuran dalam Cerita Rakyat Banyumasan dan Urgensinya sebagai Muatan Pendidikan”. Working Paper. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
  • Priyadi, Sugeng. 2007. “Cablaka sebagai Inti Model Karakter Manusia Banyumas”. Dalam Jurnal Diksi, Volume 14, Nomor 1, hlm. 11–18. Yogyakarta: Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta.
  • Wibowo, Mufti. 2019. “Personalitas dan Spiritualitas Ahmad Tohari”. BasaBasi.co. Diakses pada 20 Oktober 2022.

 

Penulis: Yudhistira

Penyunting: Ivan Lanin