Gaul Bukan Amburadul
Tabik,
Bagaimana posisi bahasa gaul dalam bahasa Indonesia? Apakah anggapan bahasa gaul sebagai bahasa yang merusak itu benar? Apakah justru bahasa Indonesia-lah yang mesti “berkompromi” dengan bahasa gaul–yang tumbuh secara alami di masyarakat?
Bahasa gaul tidak dapat kita kesampingkan dalam kehidupan bersosialisasi, apalagi di tengah gempuran bahasa asing kini. Barangkali, nenek moyang kita dahulu juga bergaul sebagai “anak Jaksel” pada zamannya karena banyak sekali kata asing yang dipakai, seperti chauffeur yang menjadi ‘sopir’ dan klaar yang menjadi ‘kelar’. Coba bayangkan, saat klaar bekerja, bagaimana cara nenek moyang kita memesan chauffeur?
Kata-kata yang masif dipakai itu akhirnya diserap ke bahasa Indonesia. Artinya, bahasa Indonesia itu tidak selalu saklek. Ia punya fleksibilitas sehingga mampu merangkul bahasa yang tumbuh di masyarakat. Bahasa gaul salah satunya.
Sekarang, bagaimana peluang kata wicis? Mari, kita temukan jawabannya dalam Festival Tapak Tilas: Gaul Bukan Amburadul yang akan diselenggarakan pada Sabtu, 22 Oktober 2022. Di sana kita dapat berdiskusi tentang perkembangan bahasa gaul bersama Debby Sahertian–penulis Kamus Bahasa Gaul–dan Fauzan Al-Rasyid–seorang pemengaruh pendidikan dan pemerhati bahasa Indonesia. Sampai ketemu, ya, bestie!
Salam takzim,
Thesa Nurmanarina
Sekretaris Direktur dan Spesialis Hubungan Masyarakat
Bagaimana tanggapan Kerabat Nara?
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan
Artikel & Berita Terbaru
- Keterampilan yang Dibutuhkan Penulis Wara
- Empat Unsur Gramatika sebagai Kunci Kemampuan Menata Tulisan
- Bahan Pertimbangan sebelum Mengirim Artikel ke Jurnal
- Bjir dan Bjrot
- Penulisan Infografik yang Mencakup Semua Hal
- Berbahasa Indonesia, Sulit atau Mudah?
- Pola Frasa dalam Bahasa Kita
- Kelas Perdana Penulisan Skenario dalam Produksi Video
- Penulisan Mikrokopi UX yang Ramah Pengguna
- Kiat Penyusunan Dokumen untuk Konsultan Proxsis
- Penyunting yang Tak Sama dengan Penguji Baca
- Mengenal Penulisan Artikel dan Esai Lebih Dalam