Pada esai “Bahasa Langit”, Nur Hadi menceritakan seorang dokter yang memprotes dominasi penggunaan bahasa asing dalam penanganan Covid-19. Kita tahu, physical distancing, social distancing, lockdown, self-quarantine, PCR test, rapid test, dst. menjadi istilah-istilah yang populer digunakan hingga hari ini. Nur Hadi menuliskan bahwa kata-kata tersebut serupa dengan bahasa langit yang sukar dimengerti oleh kalangan akar rumput.
Saya melihat dua kata kunci yang penting untuk digarisbawahi pada tulisan Nur Hadi, yakni bahasa langit dan akar rumput. Kita bisa melihat bahwa keduanya mengesankan level, tingkatan, atau jarak; bahwa ada kemuskilan bagi akar rumput atau rakyat kecil dalam memahami bahasa langit.
Dalam kajian sosiolinguistik, ada gejala kebahasaan yang disebut diglosia. Istilah ini pertama kali dikenalkan oleh Charles A. Ferguson, seorang ahli bahasa asal Amerika Serikat, pada 1959. Diglosia terjadi ketika terdapat dua ragam bahasa yang digunakan oleh suatu masyarakat. Dua ragam tersebut dipakai bersamaan demi fungsi kemasyarakatan yang berbeda. Diglosia ini memunculkan dua ragam bahasa yang bersifat tinggi (T) dan rendah (R). Ragam T umum digunakan pada situasi resmi, seperti pidato, kuliah, tulisan berlaras ilmiah murni, dst. Sementara itu, ragam R sering kita temui pada percakapan sehari-hari atau pada situasi kasual dan intim. Mungkin bisa dikatakan bahwa gejala diglosia inilah yang melahirkan ragam bahasa berdasarkan situasi pemakaiannya.
Di Indonesia, ragam T barangkali mulai diterapkan ketika Melayu-Riau dipilih sebagai bahasa wajib di sekolah dasar pada zaman kolonialisme. Bahasa Melayu-Riau atau sering juga disebut Melayu Tinggi, menurut Moeliono dkk., berfokus pada bahasa tulis. Penggunaan ragam T dalam bahasa lisan konon tidak begitu diasah. Sementara itu, ragam R dianggap lebih nyaman untuk digunakan secara lisan di luar sekolah. Pada akhirnya, pembatasan kedua ragam ini tentu membuat jarak antara orang-orang yang mengenyam pendidikan dan tidak.
Jika dilihat, saat ini ragam T dan ragam R dalam bahasa Indonesia sudah bercampur aduk. Hal ini tidak terpisahkan dari beragamnya gaya penulisan jurnalistik kita hari ini. Selain itu, bahasa-bahasa yang berasal dari ragam R pun sudah didaftarkan pada KBBI V. Apabila kita kembali pada kasus yang ditulis oleh Nur Hadi, istilah pembatasan sosial, pembatasan jarak, karantina wilayah, dan karantina mandiri atau swakarantina juga sudah diperkenalkan sebagai bentuk padanan, sekalipun terlambat.
Akan tetapi, ada saja segelintir orang yang nyinyir dan menganggap pemadanan sebagai upaya yang sia-sia, terkesan kuno, atau tidak selaras dengan kemajuan iptek. Saya tidak bilang bahwa padanan bahasa Indonesia saat ini sudah mencapai titik yang terbaik. Beberapa bentuk memang masih terkesan dipaksakan, sulit untuk diucap dan diingat. Ironisnya, apabila tidak diupayakan, jarak antara bahasa langit dan akar rumput akan terus menganga.
Saya rasa, padanan yang paling efektif bisa terbentuk lewat partisipasi aktif dari para pengkaji dan penutur. Lembaga kebahasaan perlu turba (turun ke bawah) untuk melibatkan banyak kalangan. Kita pun sebaiknya kritis. Ingat, butuh tenaga untuk turun dari langit dan sampai ke bumi; butuh usaha lebih untuk mewujudkan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi yang setara.
Rujukan:
- Hadi, Nur. 2020. “Bahasa Langit”. Dalam Majalah Tempo, Juli, Jakarta.
- Hudson, R.A. 1995. Sosiolinguistik. Terjemahan oleh Rochayah & Misbach Djamil. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
- Kushartanti, dkk. (ed). 2005. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
- Moeliono, Anton M., dkk. 2017. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi Keempat. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
- Suyudi, Ichwan. 1977. Pengantar Linguistik Umum. Depok: Penerbit Gunadarma.
Penulis: Yudhistira
Penyunting: Ivan Lanin