
SJW itu Diperlukan!
Pada ranah media sosial, terutama di Twitter, kita akrab dengan SJW atau social justice warrior (pejuang keadilan sosial), sebuah istilah yang disematkan bagi seorang pembela hak atau penyuara isu tertentu, seperti kesetaraan gender dan keberagaman masyarakat. Akan tetapi, sebutan itu perlahan mengalami perubahan makna ke arah negatif. Sebabnya adalah para SJW sering dianggap melewati batas. Mereka kerap memperdebatkan hal yang telah menjadi kebiasaan umum. Perdebatan itu tampaknya membuat sebagian orang merasa tidak nyaman sehingga, alih-alih turut terjun untuk berargumentasi, mereka mengecap para SJW sebagai “polisi moral”.
Kita dapat setuju atau tidak, baik dengan tindakan SJW maupun pengecapan oleh penentangnya itu. Namun, untuk yang satu ini, saya pikir kita boleh bersepakat: Kita berseia sekata bahwa SJW itu diperlukan dalam penulisan atau penyuntingan. Catatannya, SJW yang ini bukan berwujud orang, melainkan sikap. Apa saja atau bagaimanakah itu? Mari kita mulai.
- Singkirkan yang Tidak Perlu
S dari singkatan SJW memiliki kepanjangan singkirkan yang tidak perlu. Ketika menulis atau menyunting, kita harus peka dan selektif terhadap kelewahan. Jangan biarkan dosa besar itu membuat pembaca terkena tulahnya.
Kita dapat memulainya dengan hal-hal sederhana, misalnya menyatukan kata melakukan dengan nomina (kata benda) yang mengikutinya. Contohnya adalah mengubah frasa melakukan pengiriman menjadi mengirim dan melakukan penindakan menjadi menindak. Perubahan itu menghemat ruang. Selain itu, toh, kata ubahannya tidak menghilangkan makna frasa asal.
Contoh lainnya adalah membuang kata proses yang diikuti nomina berimbuhan pe-an. Kita bisa menulis penyusunan tanpa ada proses di depannya karena kata itu sudah bermakna ‘proses, cara, perbuatan menyusun (seperti penyusunan kamus, ensiklopedia)’. Untuk mengetahui makna kata lain yang serupa, silakan cek di KBBI Daring.
- Jelaskan yang Ambigu
Lagi-lagi kita perlu peka. Untuk kiat yang kedua ini, kita bisa mulai melatih kepekaan itu terhadap bagian tulisan yang diikuti kata yang, misalnya pada kalimat Mobil pejabat yang baru itu berwarna abu-abu. Apa yang baru? Mobil atau si pejabat?
Agar tidak ambigu, kita dapat menjelaskannya dengan cara membubuhkan tanda hubung (-) pada bagian yang dimaksud. Misalnya, jika yang baru adalah mobil, tanda hubung diletakkan antara mobil dan pejabat sehingga menjadi Mobil-pejabat yang baru itu berwarna abu-abu. Jika yang baru adalah si pejabat, tanda hubung diletakkan antara kata pejabat dan yang serta yang dan baru sehingga menjadi Mobil pejabat-yang-baru itu berwarna abu-abu.
Cara lainnya adalah menghapus kata yang terlebih dahulu. Ubah kalimat di atas menjadi Mobil pejabat baru itu berwarna abu-abu. Selanjutnya, tentukan yang dimaksud. Jika yang baru adalah mobil, letakkan tanda hubung di antara kata mobil dan pejabat. Jika yang baru adalah si pejabat, letakkan tanda hubung di antara kata pejabat dan baru.
Apakah memberikan tanda hubung adalah satu-satunya cara menjelaskan yang ambigu? Tidak. Ada cara lain, yaitu memindahkan yang beserta kata pengikutnya. Contohnya, beberapa hari lalu, rekan saya menulis berita dengan judul “Menyajikan Data yang Menarik dengan Infografik”. Setelah memperhatikan konteks bahwa itu adalah berita tentang kelas bertopik penyusunan infografik, saya mengubahnya menjadi “Menyajikan Data dengan Infografik yang Menarik”. Alasannya, (1) kelas itu berfokus mengajari peserta untuk membuat infografik yang menarik dan (2) data yang kurang atau tidak menarik pun dapat disajikan—tidak terbatas pada data yang menarik. Bukankah tujuan infografik itu lebih sering untuk menyajikan data yang terlihat ruwet? Jadi, infografik yang menarik di situ lebih tepat digunakan.
- Wicarakan tanpa Ragu
Setelah menyingkirkan kelewahan dan menjelaskan keambiguan pada sebuah tulisan, kita perlu mewicarakannya tanpa ragu. Baca secara lirih, tingkatkan kepekaan, dan perhatikan panjang pendek kalimat, tepat samar kata, serta tertib acak ejaan. Posisikan diri kita sebagai pembaca. Jika masih ada yang mengganjal, berhenti dan perbaikilah.
Ketiga sikap yang dapat disingkat menjadi SJW itu perlu kita asah. Jangan khawatir, seiring waktu, kepekaan dan kecermatan kita akan bertumbuh. Akal tak sekali tiba. Tidak ada yang sekali jadi lantas sempurna. Lakukan semuanya dengan hati yang gembira.
#kiat #menulis #menyunting
Penulis : Harrits Rizqi
Penyunting : Ivan Lanin
Bagaimana tanggapan Kerabat Nara?
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan
Artikel & Berita Terbaru
- Keterampilan yang Dibutuhkan Penulis Wara
- Empat Unsur Gramatika sebagai Kunci Kemampuan Menata Tulisan
- Bahan Pertimbangan sebelum Mengirim Artikel ke Jurnal
- Bjir dan Bjrot
- Penulisan Infografik yang Mencakup Semua Hal
- Berbahasa Indonesia, Sulit atau Mudah?
- Pola Frasa dalam Bahasa Kita
- Kelas Perdana Penulisan Skenario dalam Produksi Video
- Penulisan Mikrokopi UX yang Ramah Pengguna
- Kiat Penyusunan Dokumen untuk Konsultan Proxsis
- Penyunting yang Tak Sama dengan Penguji Baca
- Mengenal Penulisan Artikel dan Esai Lebih Dalam