Dalam perjalanan hidup pasti akan selalu ada “kali pertama” untuk segala sesuatu yang akan kita hadapi dan semua hal itu pastilah menantang. Setidaknya membuat napas kita tergagap, pikiran resah, jantung berdebar lebih kencang, dan keringat yang bercucuran dalam suhu sedingin apa pun. Saya sudah hampir menyelesaikan bulan ketiga berada di Narabahasa dan inilah pengalaman “kali pertama” saya selama menjadi Pramubahasa sampai hari ini.

Saya memang bukan pengikut setia seorang Ivan Lanin. Namun, sejak setahun terakhir, saya akui saya banyak belajar dari Beliau. Sebagai mahasiswa jurusan jurnalistik di salah satu universitas swasta di Tangerang, saya merasa banyak sekali ilmu kebahasaan yang saya dapatkan hanya dengan mengetik “Ivan Lanin” di mesin pencari Google. Hingga akhirnya saya berkenalan dengan Narabahasa. Setelah satu sampai dua bulan mengikuti Narabahasa, mereka membuka sebuah lowongan pekerjaan untuk posisi Administrasi dan Operasi. Tanpa berpikir panjang, saya mengajak teman saya mendaftarkan diri. Sekitar dua hari kemudian saya mendapatkan notifikasi surel dari tim Narabahasa yang memberitahukan bahwa saya belum keterima. Baiklah kalau begitu!

Tidak lama setelah perekrutan tersebut, Narabahasa kembali membuka lowongan untuk bermagang di sini. Dengan pede, saya kembali mendaftarkan diri meski lebih banyak mindernya. Pada akhirnya, saya diterima sebagai Pramubahasa Digital dan perjalanan pun dimulai!

Banyak “kali pertama” yang saya temui di sini. Dimulai dari kali pertama bekerja bersama seorang yang saya kagumi satu tahun terakhir, Pak Ivan Lanin, saya langsung berpikir wah, berarti saya harus berhati-hati dalam berbahasa karena saya bekerja dengan seorang yang sangat cinta dengan bahasa Indonesia. Namun, ternyata menjadi rekan kerja Pak Ivan tidak semenyeramkan itu, kok. Justru saya malah melihat sisi menarik lainnya dan saya jadi belajar banyak hal yang sebelumnya tidak saya ketahui tentang keterampilan berbahasa Indonesia.

“Kali pertama” berikutnya adalah ketika saya bekerja secara daring dengan tim Narabahasa. Saya selalu percaya bahwa energi saat bertemu dengan orang-orang itu sangat dibutuhkan dalam membangun sebuah tim dan bagaimana ceritanya saya harus bersinergi dengan orang-orang yang belum pernah saya temui? Bagi saya yang memiliki kepercayaan tersebut, keadaan ini mendorong saya menjadi seorang yang lebih banyak diam.

Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Semuanya berkat lingkungan di Narabahasa yang sangat mendorong setiap anggotanya menjadi pribadi yang lebih baik, tidak hanya dalam aspek berbahasa saja, tetapi juga dalam setiap aspek pengembangan diri lainnya. Saya menemukan penyelia (ehem, CK dan DI) yang selalu mendorong saya dan mendukung saya meski saya banyak protes. Saya juga dipertemukan dengan Pramubahasa Angkatan 1 yang cukup ‘gila’. Ada MA yang selalu mengegas kalau berbicara, QS yang masih sangat muda dan berbahaya (karena rasa ingin belajarnya sangat tinggi!) dan HR yang selalu mencairkan suasana dengan pantun-pantunnya yang asyik!

Selanjutnya, ada juga pengalaman “kali pertama” saya menjadi moderator untuk Kelas Daring Narabahasa (KDNB). Saya selalu berpikir bahwa saya lebih mahir berbicara dalam kelompok kecil. Namun, akhirnya saya menyadari bahwa diri ini tidak akan berkembang jika saya lebih memilih untuk minder dan tidak mengambil kesempatan ini. Seseorang pernah berkata, “Kita harus belajar mengelola zona nyaman, bukan keluar dari sana. Karena saat kita keluar, kita hanya berpindah ke zona nyaman lainnya,” dan akhirnya saya mengiyakan untuk menjadi moderator di KDNB.

Pekan kemarin KDNB sudah mencapai musim yang ke-7. Pekan ini, tepatnya pada 3 Oktober 2020, saya akan kembali menjadi moderator untuk KDNB-82 bertopik Penulisan Ilmiah dan Ilmiah Populer. Menariknya lagi, pada KDNB musim ke-7 ini juga kali pertama Narabahasa memiliki sistem baru yang bernama Sinara. Sinara yang dapat diakses melalui alamat https://sinara.narabahasa.id ini diharapkan dapat memudahkan urusan administrasi kelas daring, dari mulai mendaftar, mengakses kelas, mengajukan pertanyaan, memberi penilaian, mengeklaim sertifikat, sampai dengan menonton ulang rekaman kelas.

Dari pengalaman-pengalaman di atas, akhirnya banyak “kali pertama” lainnya yang menjadikan seperti apa Eben hari ini. Memang menantang dan tidak mudah untuk mengambil langkah pertamanya. Namun, mau sampai kapan kita terus diam di satu tempat? Kita akan jauh lebih menyesal atas hal yang tidak kita lakukan dalam kehidupan dibanding sesuatu yang telah kita lakukan.

Kita akan selalu menemukan segala sesuatu untuk pertama kalinya sampai akhir hayat nanti. Bukankah kita dilahirkan untuk menikmati itu?