Jika Kerabat Nara merupakan pengguna aktif media sosial belakangan ini, kata yang menjadi judul di atas pasti tak asing lagi. Pikiran Kerabat Nara berkemungkinan besar teringat akan meme atau video seorang bocah laki-laki yang mengucapkan kata tersebut dengan intonasi lucu. Ia berswarekam sambil memperlihatkan keadaan sekitar.

Sebagai pemirsanya, kita tersenyum tipis atau bahkan tertawa ketika melihat kelucuan itu. Kreativitas tanpa batas netizen pun menghadirkan pengembangan dari bahan yang sama. Kata biasalah dari si bocah dikaitkan dengan konteks lain sehingga penggunaannya betebaran di mana-mana.

Bukankah keviralan biasalah demikian menunjukkan bahwa kata itu begitu dekat dengan kita? Saya, misalnya, kerap mendengar biasalah diucapkan oleh seorang teman yang berumah di Pamulang, Tangerang Selatan, sewaktu tiba di kampus (Depok). “Mengapa telat?” saya tanya. Jawabnya, “Biasalah.”

Berdasarkan jawabannya, saya tahu bahwa ia telat karena terjadi kemacetan di jalan. Mengapa saya tahu? Ia tak hanya sekali itu telat. Ketelatannya telah menjadi hal yang biasa. Itu sebabnya ia cukup menjawab pertanyaan saya dengan kata biasalah.

Kerabat Nara pun pernah mendapatkan jawaban dengan kata yang sama, bukan? Bahkan, bisa saja, Kerabat Nara-lah yang mengucapkannya, sekalipun dalam konteks lain. Lantas, Kerabat Nara dan si kawan-bicara sama-sama segera paham atas sesuatu yang dimaksud.

Kesalingpahaman demikian sangat menarik. Kemampuan penutur dan mitra tutur dalam menginterpretasikan yang takterucap atau taktertulis itu didasarkan atas struktur pengetahuan yang dimiliki keduanya. George Yule dalam buku Pragmatics (1996) menyebut struktur tersebut sebagai “skema”. Kawan saya di Narabahasa, Yudhistira, menjelaskannya secara gamblang dalam artikel “Interpretasi” di situs web Narabahasa. Sila baca jika berkenan. 

Lalu, apa maknanya? Maknanya, melalui sebuah kata saja, kita dapat memahami pengetahuan atau pengalaman seseorang. Tentu, kita tak dapat segera memahami seluruhnya. Namun, satu kata dapat menjadi kunci bagi kita untuk membuka isi pikiran seseorang. Misalnya, dengan biasalah, kita tahu bahwa ada pengetahuan atau pengalaman yang sama di antara kita. Makin luas kata itu dikenal, makin besar kemungkinan bahwa kita memiliki kesamaan, makin sadar bahwa kita sebenarnya tak jauh berbeda.

Kata adalah salah satu wujud bahasa. Melalui celoteh di atas, saya hendak menegaskan bahwa bahasa tak hanya menunjukkan bangsa, tetapi juga pengetahuan dan pengalaman. Maka, bahasa kita adalah pikiran kita dan pikiran kita adalah kita sendiri.

Sebelum menutup tulisan ini, saya ingin mengingatkan bahwa Narabahasa menyediakan sebuah ruang pikir di Telegram bagi para alumni kelas-kelas Narabahasa. Silakan bergabung melalui tautan s.id/kerabatnara dan manfaatkan grup tersebut untuk bertanya atau berbagi hal seputar bahasa, khususnya bahasa Indonesia. Kerabat Nara dapat memulai percakapan dengan sapaan atau pertanyaan, seperti penulisan yang tepat itu biasalah atau biasa, lah. Nah, mari!

Akhir kata, semoga kita selalu memiliki kekuatan untuk menghadapi hari depan. Semoga kita tak pernah letih untuk belajar. Terakhir, sebagaimana kata Sapardi Djoko Damono, semoga ada burung dalam setiap telur.