Pagi hari, pukul 06.00 WIB. Saat sinar surya belum terlalu menyengat, saya membuka laptop dan mulai mengetik surat ini. Entah mengapa, saya malah mengingat ulang percakapan beberapa waktu silam dengan wikipediawan pencinta bahasa Indonesia, Ivan Lanin. Laki-laki hebat, yang pemikiran dan sikapnya, berhasil memberi pengaruh baik bagi diri saya. Saya nyaris lupa kapan tepatnya percakapan itu terjadi.
Bagi yang mengenal sosok Ivan Lanin, pasti tahu bahwa beliau aktif menjawab pertanyaan-pertanyaan kebahasaan di Twitter sejak 2010. Saat itu, saya bertanya, “Kapan Bapak pensiun dari Twitter?” Beliau terdiam sebentar sambil tersenyum simpul. “Saat semua orang Indonesia bisa membedakan di– yang dirangkai dan di yang dipisah,” jawabnya kemudian dengan nada enteng. Entah hanya gurauan atau sungguhan, jawaban itu membuat saya terdiam. Pada akhirnya, jawaban itu terus bertahan dalam ingatan, menemani masa-masa saya mengemban tugas sebagai rekan kerja beliau. Jawaban itu juga yang menjadi sumber kriteria pemilihan jodoh saya kelak: bisa membedakan di– yang dirangkai dan di yang dipisah.
Perkara di– yang dirangkai dan di yang dipisah memang tidak menjadi keresahan semua orang Indonesia. Atas alasan itu juga, Narabahasa hadir. Meski sudah lima bulan Narabahasa aktif sebagai penyedia layanan edukasi kebahasaan, tetap saja belum semua orang Indonesia memiliki kegemasan yang sama saat melihat kata yang seharusnya ditulis di mana menjadi dimana atau disayang menjadi di sayang. Hal itu membuat saya menyadari bahwa salah satu misi Narabahasa yang berbunyi meningkatkan keterampilan berbahasa orang Indonesia merupakan pekerjaan sepanjang masa. Selaras dengan apa yang diingini oleh Ivan Lanin, bagai sang surya menyinari dunia, garis perjalanan Narabahasa bisa jadi tiada berujung.
Tanpa sadar, mulut saya mengucap kata “amin” ketika selesai berkontemplasi mengenai hal-hal di atas. Lima menit setelahnya, saya kembali mengetik, meneguk sedikit kopi pahit yang sudah dingin, dan membayangkan semoga Kerabat Nara yang membaca surat ini pun turut mengamini semua niat baik Narabahasa.
Belajar dari Kesalahan
Aroma pagi yang masih kental kembali mengantarkan saya kepada ingatan semasa saya kuliah di Program Studi Indonesia. Saat itu semester dua dan saya sedang mendapat mata kuliah Kemahiran Berbahasa Indonesia. Suara dosen bernada tinggi memecah keheningan. Raut wajahnya menunjukkan kekecewaan. Satu nama mahasiswa disebut olehnya. Ruang kelas ikut bergetar. Bahkan mungkin, dinding kelas pun ikut bertanya-tanya: ada apa? Ternyata, salah seorang teman saya, yang namanya disebut oleh dosen saya itu, dianggap membuat kesalahan “fatal” dalam lembar esainya. Teman saya salah menuliskan kata “di mana” menjadi “dimana” tanpa spasi. Seisi kelas turut ketakutan. Bagaimana tidak? Tersebab hukuman yang didapat oleh teman saya setelahnya adalah menulis ulang kata di mana dalam 10 lembar penuh kertas berukuran A4.
Saat itu, meski raut wajah seisi kelas begitu tegang, kuliah tetap berlanjut. Dosen saya tidak hanya memberi hukuman, tetapi juga memberi penjelasan tentang pentingnya memahami perbedaan di– yang dirangkai dan di yang dipisah. Di- yang dirangkai adalah awalan pembentuk verba pasif sehingga ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, misalnya dilarang. Sedangkan, di yang dipisah adalah kata depan yang berfungsi sebagai penunjuk tempat sehingga ditulis terpisah, misalnya di rumah.
Ada dua cara menguji penggunaan di– yang dirangkai dan di yang dipisah agar tidak tertukar. Cara pertama adalah dengan mengganti awalan di- yang dirangkai dengan me-. Sama halnya dengan manusia, verba pasif juga tercipta untuk berpasang-pasangan. Keberadaannya bisa digantikan dengan verba aktif. Kata dilarang memiliki bentuk aktif melarang, sedangkan di sana tidak memiliki bentuk menyana. Cara kedua adalah dengan mengganti kata depan di dengan ke atau dari yang juga menunjukkan tempat. Misalnya, di rumah, ke rumah, atau dari rumah. Beda halnya dengan di tulis, ke tulis, atau dari tulis.
Barangkali kesalahan memang diciptakan sebagai jembatan untuk kita menemukan kebenaran. Kalau saja saat itu teman saya tidak salah menulis kata di mana, mungkin saya tidak akan menjadi seperti sekarang yang selalu berhati-hati saat menulis. Saya pun berharap semoga kisah di– yang dirangkai dan di yang dipisah di atas tidak hanya menjadi pelajaran bagi saya dan teman-teman saya, tetapi juga bagi Kerabat Nara yang sedang membaca surat ini.
Kabar Baik
Kabar baiknya, hal-hal mengenai di– yang dirangkai dan di yang dipisah tersebut akan dibahas dalam kelas daring Narabahasa yang bertopik Ejaan pada 22 Juli 2020. Topik Ejaan merupakan salah satu dari empat topik lainnya yang tergabung dalam Seri Gramatika Bahasa Indonesia. Tiga topik lainnya ialah Wacana dan Paragraf, Kalimat, serta Kata.
Sebagai bentuk penularan virus berbahasa yang baik dan benar, Narabahasa juga merilis hasil daya cipta yang bisa Kerabat Nara gunakan kapan pun dan di mana pun. Salah satu wara dalam produk kreasi tersebut bertuliskan “bisa membedakan di– yang dirangkai dan di yang dipisah”.
Lagi-lagi saya bermimpi. Saya membayangkan banyak orang yang dengan bangganya mengenakan kaus di atas, meski itu bukan berarti tugas Narabahasa selesai. Setidaknya dengan adanya produk kreasi ini, Kerabat Nara bisa selalu mengingat eksistensi Narabahasa dan slogannya yang berbunyi Kuasai Bahasa, Kuasai Dunia.
Salam takzim,
Dessy Irawan