Tabik.

Diakui atau tidak, kita sudah berada pada zaman kita tidak lagi mencari informasi, tetapi informasilah yang selalu datang, bahkan bertubi-tubi. Belum selesai membaca satu berita secara utuh, berita lain sudah hadir kembali. Belum selesai membaca satu konteks, kita sudah diberi tugas untuk membaca konteks lain. Disukai atau tidak, sejak bangun pagi pun kita telah dihadapkan kebingungan untuk memilih berita apa yang ingin kita baca. Kebiasaan memotong-motong berita ini barangkali berdampak pada bagaimana otak kita menerima informasi yang tentu terpotong-potong juga.

Pada akhirnya, sebagian orang (termasuk saya) memilih membuka laman Twitter atau kanal media sosial lain untuk melihat berita. Alasannya, tanpa saya berusaha mencari pun, satu kali menggulir laman utama Twitter sudah bisa membawa saya kepada dua sampai tiga rangkuman berita. Pola jurnalisme ini mungkin menjadi pola yang hanya kita temui di era digital. Twit-twit yang saya lihat itu bisa menjadi pemberitaan media-media, bisa pula sebaliknya–media-media itu yang menjadi acuan atas info-info yang berseliweran di media sosial.

Pertanyaan yang bertengger di kepala saya sekarang: Apakah pemberitaan hanya milik jurnalis? Apakah warganet yang aktif bermedia sosial ini juga mendapat peranan untuk pemberitaan? Sejauh mana warganet dapat memberitakan sesuatu? Bagaimana caranya mereka terlatih? Sebuah akun media sosial tentu tidak akan lepas dari tendensi seseorang. Saat ia memberitakan sesuatu, apakah tidak apa-apa jika sebuah berita diberi opini?

Yang akhirnya saya tahu, pemberitaan lewat media disusun oleh tim yang bertanggung jawab atas menghilirnya informasi yang mereka sampaikan, sedangkan hal itu belum ada dalam pemberitaan oleh warganet. Tidak ada kurasi ataupun penyuntingan redaksi oleh warganet. Mereka hanya akan bertanggung jawab secara pribadi atas apa yang mereka tulis di media sosialnya masing-masing.

Maka dari itu, saya berjanji pada diri saya sendiri untuk mengetwit informasi-informasi dengan cara yang baik dan memastikan informasi itu ditangkap dengan cara yang baik pula. Pasalnya, saya tidak pernah tahu bagaimana informasi itu dapat bergulir menjadi sebuah pemicu khusus bagi si pembaca, misalnya. Saya juga ingin mengajak para pembaca nawala ini untuk melakukan hal yang sama.

 

Salam takzim,

Thesa Nurmanarina

Sekretaris Direktur dan Spesialis Hubungan Masyarakat