Apa Kabar, Kerabat Nara?

oleh Dessy Irawan

Saya mengerti bahwa perjalanan tidak selalu mudah. Lelah kerap menjadi dalih untuk menyerah. Beberapa orang memilih berbalik arah, padahal perjalanan baru setengah. Beberapa orang lainnya memilih terus melangkah meski tahu dirinya nyaris berdarah. Keduanya tidak salah. Saya memilih mengingat wajah Ibu dan Ayah. Mungkin, Kerabat Nara memiliki pilihan lain yang dapat menjadi obat untuk semangat yang hampir patah. 

Sadarkah Kerabat Nara bahwa paragraf di atas merupakan bentuk basa-basi saya untuk Kerabat Nara? Meski kita tidak saling mengenal, penerapan basa-basi bahasa ternyata bisa digunakan, bukan? Dalam ilmu kebahasaan, konsep basa-basi tersebut dikenal sebagai prinsip kesantunan berbahasa. Leech (1983) menyebutkan ada enam prinsip kesantunan berbahasa yang dapat digunakan untuk meminimalisasi hal-hal buruk yang mungkin timbul saat berkomunikasi. 

Prinsip pertama bernama kebijaksanaan. Dalam menerapkan prinsip tersebut, Kerabat Nara perlu memahami kondisi atau sudut pandang mitra tutur. Misal, saat ingin meminta dibelikan sesuatu kepada pasangan, Kerabat Nara mengatakan, “Kalau ada uang lebih, belikan aku produk kreasi Narabahasa, ya?” 

Prinsip kedua bernama kedermawanan. Bederma atau beramal tidak melulu dengan wujud materi. Kerabat Nara bisa melakukannya dengan bertutur. Tentu, setelahnya, Kerabat Nara perlu menyelesaikan tanggung jawab yang Kerabat Nara tuturkan. Misal, saat menawarkan untuk menyelesaikan sesuatu kepada rekan kerja, Kerabat Nara mengucapkan, “Biar saya yang melanjutkan pekerjaan ini. Kamu nonton KDM Narabahasa saja.”

Prinsip ketiga bernama penghargaan. Dalam menerapkan prinsip penghargaan, Kerabat Nara perlu mengawali tuturan dengan pujian. Misal, saat hendak merespons sajian presentasi seseorang, Kerabat Nara berkata, “Salindiamu bagus dan mudah dimengerti.” Saya rasa, sebagian besar dari kita akan merasa senang jika diberi pujian.

Prinsip keempat bernama kerendahhatian. Prinsip itu bisa Kerabat Nara terapkan saat ingin memperjelas atau mengonfirmasi maksud mitra tutur. Mulailah dengan mengaku salah. Misal, “Duh, maaf, saya sedang tidak fokus. Tadi kamu ngomong apa?” 

Prinsip kelima bernama kesetujuan. Prinsip ini dapat diterapkan meski yang hendak Kerabat Nara ungkapkan berupa ketidaksetujuan. Mulailah dengan kalimat yang menyatakan bentuk dukungan Kerabat Nara terhadap pernyataan mitra tutur. Setelah itu, sampaikan ketidaksetujuan Kerabat Nara. Misal, “Saya setuju dengan pendapat Anda, tetapi saya punya usul tambahan ….”

Prinsip keenam bernama simpati. Prinsip simpati bisa diterapkan saat Kerabat Nara dan mitra tutur sedang menghadapi masa-masa sulit. Kerabat Nara bisa melihat contohnya pada paragraf pertama nawala ini. 

Keenam prinsip kesantunan berbahasa di atas dapat Kerabat Nara terapkan untuk berbagai kondisi. Bagaimanapun, mitra tutur kita ialah manusia yang punya hati. Bahasa yang kita gunakan saat bertutur memiliki kekuatan untuk memengaruhi respons mitra tutur. Jadi, selamat berbasa-basi, Kerabat Nara. 

Referensi:

Leech,  Geoffrey.  1983.  The  Principles  of  Pragmatics.  London: Longman Group UK.

Anda mungkin tertarik membaca

Tinggalkan Komentar