Saya pernah menemukan papan yang berisi teks Awas anjing galak! di depan sebuah toko busana. Imajinasi saya begitu cepat bekerja. Seketika yang saya bayangkan adalah diri saya yang dikejar-kejar oleh anjing galak. Bahkan, saya hampir mengurungkan niat masuk ke dalam toko tersebut. Untung saja, dalam proses berpikir yang kedua, saya menyadari bahwa tidak mungkin ada anjing galak di toko busana. Eh, atau mungkin saja ada, ya? 

Teks Awas anjing galak! pada papan tersebut merupakan produk wacana. Pada proses berpikir saya yang pertama, saya tidak mengaitkan teks tersebut dengan konteksnya. Padahal, untuk memahami produk wacana, kita perlu mengetahui konteks yang berkaitan dengan wacana tersebut. Cook (1992) mendefinisikan konteks sebagai semua situasi dan hal di luar teks yang memengaruhi pemakaian bahasa. Jadi, sebuah wacana sebenarnya tidak bisa berdiri sendiri tanpa aspek-aspek yang membentuknya. Sebagai pembaca atau pendengar, kita mesti kritis saat memaknai sebuah wacana. 

Renkema (1993) membagi konteks menjadi konteks verbal (koteks) dan konteks sosial yang meliputi konteks situasi dan konteks budaya. Pada tulisan ini, saya akan membahas konteks situasi yang semoga dapat menjadi bekal Kerabat Nara dalam memahami sebuah wacana.

Ada delapan jenis konteks situasi yang diuraikan oleh Hymes (1972). Jika dijadikan sebuah jembatan keledai, delapan konteks tersebut dapat diingat sebagai SPEAKING. SPEAKING merupakan akronim dari setting and scene, participants, ends, act sequence, key, instrument, norms, dan genre. Mari kita bedah satu per satu! 

Pertama, latar dan suasana (setting and scene). Latar bersifat fisik terdiri atas tempat dan waktu, sedangkan suasana bersifat psikis mengacu pada suasana psikologis yang menyertai wacana. Jika merujuk pada contoh yang saya paparkan sebelumnya, konteks latar sangat berperan dalam proses pemaknaan wacana. Papan teks Awas anjing galak! tersebut akan menjadi bermakna jika diletakkan di depan pagar rumah yang ada anjing.

Kedua, peserta (participants) yang mengacu pada hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang peserta, seperti usia, pendidikan, dan latar sosial. Misal, ada wacana, “Operasinya akan dilaksanakan nanti sore.” Jika yang memproduksi wacana tersebut seorang dokter, tentu kita akan langsung paham bahwa operasi yang dimaksud bertujuan mengobati suatu penyakit. Namun, pemaknaan operasi akan berbeda jika yang memproduksi wacana tersebut adalah seorang anggota militer. Pengetahuan tentang latar belakang peserta diperlukan agar tafsiran dapat tepat secara makna. 

Ketiga, hasil (ends) yang mengacu pada hal-hal yang diharapkan dari sebuah wacana. Misal, saat pacar kita berujar, “Duh, lapar,” tentu–sebagai pacar yang baik–kita perlu memaknai hal apa yang diharapkan dari ujaran tersebut. Jika saya mendapat ujaran seperti itu, respons saya adalah, “Yuk, kamu mau makan apa?” 

Keempat, bentuk dan muatan pesan (act sequence) yang mengacu pada format dan isi wacana. Bentuk wacana, misalnya teks pendek, teks panjang, audio, gambar, atau video. Muatan wacana dapat berupa diksi yang digunakan, cara menguraikan diksi tersebut, serta hubungan dengan topik wacana. 

Kelima, cara (key) yang mengacu pada cara peserta mengemukakan pesan, misalnya serius, santai, atau akrab. Cara peserta dalam mengemukakan wacana perlu kita ketahui agar kita tidak salah memberi respons. Misal, ketika kawan bicara yang merupakan seorang atasan kita sedang bernada serius, kita pun perlu meresponsnya dengan serius. Jangan justru diajak bercanda. Konteks cara dalam sebuah wacana bisa terlihat dari, misalnya, raut wajah, tinggi rendahnya nada bicara, atau emoji yang dihadirkan. 

Keenam, sarana (instrument) yang mengacu pada medium penyampaian wacana, seperti lisan atau tulisan dan tidak langsung atau langsung. Wacana yang disampaikan melalui pesan teks akan berbeda dengan ketika disampaikan melalui medium telepon. Sebagai contoh, saya memiliki rekan kerja yang kerap mengirim pesan ok untuk merujuk pada makna ‘sepakat’. Saya merupakan tipe orang yang akan langsung menganggap bahwa orang yang berkirim pesan dengan karakter singkat sedang marah kepada saya. Padahal, jika pesan ok, alih-alih oke, disampaikan melalui telepon atau bahkan saat bertemu langsung, bisa jadi orang tersebut tidak sedang marah kepada saya. Kini, saya sudah membiasakan diri dengan pesan ok rekan kerja saya tersebut. Ada kalanya pesan teks menimbulkan amarah dan telepon menyelesaikan masalah. Semuanya hanya karena tafsiran atas nada bicara. 

Ketujuh, norma (norms) yang mengacu pada aturan-aturan yang berlaku. Konteks norma pun beragam jenisnya, seperti komunikasi satu arah atau dua arah, hal yang boleh dibicarakan atau tidak, serta cara membicarakannya: halus, kasar, atau terbuka. Sebagai contoh, wacana siaran pers yang bersifat satu arah akan berbeda dengan wacara konferensi pers yang bersifat dua arah.

Terakhir, jenis (genre) yang mengacu pada kategori atau laras wacana, misalnya laras hukum, laras bisnis, laras ilmiah, laras kreatif, dan laras sastra. Tiap laras tersebut memiliki cirinya tersendiri. Sebagai contoh, untuk memahami wacana sastra, setidaknya kita perlu mengetahui ciri dasar dari laras sastra. 

 

Referensi: 

Cook, Guy. 1992. The Discourse of Advertising. London: Routledge.

Hymes, Dell. 1972. The Ethnography of Communication. US of America: Holt, Rinehart, and Winston, Inc. 

Renkema, Jan. 1993. Discourse Studies: An Introductory Textbook. Amsterdam: John Benjamins Publishing, Co.

Penulis: Dessy Irawan

Penyunting: Ivan Lanin