Ada pengalaman menarik ketika saya berkuliah di Depok dahulu. Sebelum pulang kampung ke Malang, baik untuk menghabiskan liburan semester maupun merayakan Lebaran, saya biasa ditanya oleh beberapa teman yang berdomisili di Jakarta dan sekitarnya. Mereka bilang, “Kapan kamu pulang ke Jawa?” Sebelum menjawab, saya membatin, “Bukankah saya sudah di Jawa?”

Pertanyaan retorik dari batin saya itu muncul sebab saya berpikir bahwa Jawa merupakan nama sebuah pulau dan saya sedang berada di pulau tersebut. Sementara itu, preposisi ke menandakan perpindahan atau pergerakan menuju suatu tempat. Jadi, bagaimana mungkin saya berpindah ke tempat yang sudah saya duduki? 

Meskipun demikian, dari pertanyaan yang disampaikan teman-teman saya itu,  kita dapat belajar bahwa kalimat bukan hanya soal fungsi sintaksis, melainkan juga makna. Kalimat Kursi memakan sepeda, misalnya, sudah tepat secara fungsi: kursi sebagai subjek, memakan sebagai predikat, dan sepeda sebagai objek. Namun, secara makna, kalimat itu tidak berterima karena kita tahu bahwa kursi merupakan benda mati. Ia tentu tidak dapat beraktivitas seperti makhluk hidup.

Lantas, apakah kalimat Kapan kamu pulang ke Jawa? sudah pasti tidak berterima? Belum tentu. Bagi orang-orang yang berasal dari Jawa dan bertempat tinggal di luar Jawa, misalnya Kalimantan dan Sulawesi, pertanyaan itu berterima.

Hal itu berhubungan dengan makna situatif. Makna tersebut tergolong dalam makna ekstralingual, yakni makna yang berkaitan langsung dengan unsur-unsur di luar bahasa. Dalam makna situatif, kata-kata deiktis bergantung pada konteks pembicaraan, seperti tempat (ruang). Nah, untuk pertanyaan Kapan kamu pulang ke Jawa?, konteks yang tepat ialah petutur sedang berada di luar Jawa, bukan di Jawa. 

Saya pikir persoalan Kapan kamu pulang ke Jawa? sudah cukup terjelaskan, ya, dari sudut pandang bahasa. Namun, sebenarnya ada suatu fenomena yang dicerminkan dari pertanyaan tersebut, yaitu rasa keterpisahan DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jawa seolah-olah hanya menjadi rumah bagi orang-orang di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Untuk hal itu, biarlah sosiolog—atau mungkin juga psikolog—yang menjelaskan.

 

Referensi

Kushartanti dkk. (ed.). 2007. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

 

Penulis: Harrits Rizqi

Penyunting: Ivan Lanin