Semua Tergantung Konteksnya

oleh Qinthara Silmi Faizal

Saya sedang bermenung tentang topik apa yang akan saya bahas untuk nawala pekan ini ketika adik saya menghampiri dengan raut wajah bingung. Sontak saya pun bertanya, “Ada apa?” Ia memandangi wajah saya sesaat lalu menjawab, “Kak, aku tiba-tiba kepikiran. Beberapa kata dalam bahasa Inggris itu ada yang sama cara pengucapannya, tetapi tulisannya berbeda. Kok, bisa seperti itu, ya? Lalu, kenapa lawan bicara kita bisa mengerti apa yang kita maksud? Contohnya sea yang artinya ‘laut’ dan see yang artinya ‘melihat’.” Saya menjawab spontan, “Oh, itu ndak hanya ada dalam bahasa Inggris. Kata dalam bahasa Indonesia juga ada yang seperti itu, lo.”

Sama seperti adik saya, saya pun sempat heran mengapa suatu kata bisa memilki cara pengucapan yang sama, tetapi makna yang dikandungnya berbeda. Saya pertama kali menyadari hal itu ketika menemukan kata feasibility yang memiliki pengucapan serupa dengan visibility. Namun, kedua kata tersebut memiliki makna yang berbeda. Feasibility berarti ‘kelayakan’, sedangkan visibility berarti ‘jarak pandang’.

Hal tersebut juga sering kita jumpai dalam penggunaan bahasa Indonesia sehari-hari, misalnya pada kata hak. Hak bisa berarti ‘bagian dari sepatu’ atau ‘kewenangan’. Kata yang lafal dan ejaannya sama, tetapi memiliki makna berbeda seperti itu disebut homonim. Kata berhomonim memiliki makna yang bergantung pada kata di depan atau belakangnya. Oleh karena itu, kita baru bisa memahami makna suatu kata yang berhomonim setelah membaca atau mendengarnya secara utuh dalam frasa atau kalimat. 

Selain homonim, ada juga homofon dan homograf. Homofon adalah kata yang memiliki bunyi dan pelafalan yang sama, tetapi ejaan dan maknanya berbeda. Contohnya seperti yang ditanyakan oleh adik saya. See dan sea memiliki bunyi yang sama, tetapi makna kedua kata tersebut berbeda. Dalam bahasa Indonesia, kita bisa menemukan homofon pada kata bank dan bang. Kedua kata tersebut memiliki pelafalan yang sama, tetapi maknanya berbeda. Bank bermakna ‘lembaga keuangan’, sedangkan bang bermakna ‘sebutan untuk kakak laki-laki dalam budaya Betawi’. 

Sementara itu, homograf adalah kata yang memiliki ejaan sama, tetapi pelafalan dan maknanya berbeda. Contoh yang sering kita temui dalam bahasa Indonesia adalah apel yang bermakna ‘buah’ dan apel yang bermakna ‘upacara’. 

Suatu kata ternyata bisa memiliki beberapa makna, ya, Kerabat Nara. Lantas, mengapa kita bisa memahami kata yang diucap oleh seseorang? Jawabannya adalah bergantung pada kata yang membersamai ucapan itu dan konteksnya. Konteks berkaitan dengan komunikator, komunikan, waktu, dan tempat. Kata gajah yang diucapkan oleh pecatur akan berbeda maknanya jika diucapkan oleh pemerhati hewan. 

Jadi, setelah membaca nawala, Kerabat Nara paham, ‘kan, mengapa Narabahasa meluncurkan kaus kreasi ini?

Anda mungkin tertarik membaca

Tinggalkan Komentar