Pekerjaan sehari-hari saya, selain menjadi juru bantu di Narabahasa, adalah mengamati tingkah laku netizen di media sosial, seperti Instagram dan Twitter. Saya suka memperhatikan tanggapan mereka atas isu-isu yang sedang hangat. Ada yang membuat saya tersenyum; ada yang membuat saya sedih; dan ada pula yang membuat saya terheran-heran karena pola pikirnya yang ajaib. Kerabat Nara pasti juga pernah menemukan yang terakhir itu, ‘kan?

Saya pun gemar mengamati kiriman Narabahasa, termasuk kolom komentar serta jumlah retwit dan sukanya. Salah satu hal yang saya tangkap, kiriman Narabahasa tentang kata baku versus takbaku konsisten mendapatkan banyak tanggapan. Agaknya pengikut Narabahasa suka atau senang ketika mereka mengetahui penulisan yang benar atas suatu kata. Dengan kata lain, mereka akhirnya juga tahu penulisan kata yang tidak sesuai kaidah (salah).

Dikotomi antara benar dan salah seperti di atas terkadang menciptakan perkubuan. Misalnya, sebagian orang, setidaknya di sekitar saya, lebih akrab dengan kata panu untuk mengungkapkan ‘bercak-bercak putih pada kulit manusia’. Mereka akan menyatakan bahwa kata itu sudah benar. Terlebih, iklan-iklan juga menulis demikian. Namun, bagi orang-orang yang setia dengan KBBI, mereka akan mengatakan bahwa panu itu salah dan yang benar adalah panau. Timbullah kemudian kubu si salah dan si benar.

Benar dan salah sudah menjadi makanan kita sehari-hari. Apa pun bidangnya, kedua hal itu selalu ada. Yang membuat saya merasa miris, perdebatan tentang benar dan salah sering berhenti di situ-situ saja, tidak ada sesuatu yang menghasilkan kelapangan. Saya pikir, itu disebabkan oleh kebiasaan kita yang menganggap bahwa pembahasan tentang “apa” saja sudah cukup—apa yang benar; apa yang salah. Padahal, ada baiknya bahwa kita perlu melanjutkan perbincangan ke taraf “mengapa”—mengapa bisa begitu; mengapa bisa begini.

Pengulikan atas dasar “mengapa” berguna untuk memahami berbagai hal. Misalnya, mengapa ada orang yang mengerti pembahasan kita, sementara ada juga yang nggak nyambung? Hal itu dapat ditelaah dari salah satu unsur wacana, yaitu koherensi. Menurut Untung Yuwono dalam Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik (2005), koherensi adalah hubungan antara teks dan faktor di luar teks berdasarkan pengetahuan seseorang. Adanya koherensi membuat kita mampu memahami pembahasan dari seseorang karena antara kita dan orang itu memiliki konteks bersama (shared-context) atau pengetahuan bersama (shared-knowledge). Jadi, jika ada orang yang nggak nyambung, jangan segera memarahinya. Siapa tahu, ia memang belum memiliki pengetahuan atau memahami konteks dari hal yang sedang dibahas.

“Mengapa” juga dapat mengarahkan kita untuk menemukan trivia. Misalnya, pada suatu malam, ketika berlewah pikir, saya bertanya dalam hati mengapa anak udang disebut benur. Ternyata, menurut Samsudin Adlawi dalam tulisannya “Benih Bening Lobster, Benur” pada majalah Tempo edisi 16 Januari 2021, istilah itu dibuat oleh Hasnan Singodimayan, seorang budayawan Banyuwangi yang pernah menjadi pegawai negeri sipil pada 1965 di Dinas Perikanan Kabupaten Banyuwangi. Hasnan menciptakan istilah tersebut karena ketiadaan istilah untuk menyebut anak udang. Dengan kreativitasnya, ia membuat benur, akronim dari benih urang. Dalam bahasa Jawa, urang berarti ‘udang’.

Selain itu, kita juga bisa bertanya mengapa para pengarang sering kali menggunakan kata yang tidak sesuai dengan KBBI atau kalimat yang tidak lengkap. Jawaban singkatnya, itu karena pengarang memiliki lisensi puitis. Apa itu lisensi puitis? Silakan cari di situs web Narabahasa (narabahasa.id) dengan memasukkan kata kunci lisensi puitis.

Intinya, dengan menggunakan “mengapa” sebagai kunci, kita dapat menemukan banyak hal yang lebih menarik daripada sekadar benar atau salah, termasuk dalam ranah kebahasaan. “Mengapa” membuat kita tidak terjebak dalam hitam putih. Ia juga dapat membuat kita memahami berbagai sudut pandang dan alasan atau motif dari suatu peristiwa. Bukankah, ketika membaca novel atau menonton film, kita selalu mencari motif dari sang tokoh? Begitulah kira-kira.