Menapaki Tilas Bahasa Indonesia melalui Festival

oleh Narabahasa

Narabahasa turut memeriahkan bulan Oktober yang dikenal sebagai Bulan Bahasa dan Sastra. Bukan hanya karena kami merupakan perusahaan yang bergerak dalam layanan kebahasaan, tetapi juga karena kami percaya, baik dipelajari maupun tidak, bahasa adalah inti hati yang punya sejarah sendiri. Ia senantiasa menyimpan jejak dan memori.

Atas keyakinan itu, Narabahasa membuat tiga mata acara yang dirangkai dalam tajuk acara Festival Tapak Tilas (FTT). Pada Sabtu, 15 Oktober 2022, bersama Bu Laura Lesmana Wijaya (Ketua Pusat Bahasa Isyarat Indonesia) dan 550 orang peserta yang hadir secara daring, kami memeluk erat bahasa isyarat dalam “Mendekat ke Isyarat”. Pada pekan selanjutnya, 22 Oktober 2022, melalui “Gaul Bukan Amburadul”, para peserta diajak untuk mengetahui posisi bahasa-bahasa gaul dalam bahasa Indonesia serta pertumbuhannya dari zaman ke zaman bersama Mbak Debby Sahertian (praktisi bahasa gaul) dan Mas Fauzan Al-Rasyid (editor dan pegiat bahasa Indonesia). Dalam pekan terakhir penutup bulan Oktober, tepat pada Hari Sumpah Pemuda, puncak acara FTT dirayakan dalam “Mesin Waktu Bahasa Indonesia” bersama Pak Maryanto (pengawas bahasa dan sastra serta pemerhati politik bahasa) dan Pak Djoko Saryono (penulis dan Guru Besar Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang).

Dari “Mendekat ke Isyarat”, peserta mengetahui bahwa teman Tuli sudah ada lebih dahulu dibanding bahasa isyarat. Lantas, sebelum bahasa isyarat diciptakan, bagaimana mereka berkomunikasi? Bu Laura menjelaskan bahwa bahasa isyarat tercipta dari komunitas Tuli. Teman Tuli menyimbolkan sesuatu sesuai kesepakatan, yang membuat mereka pada akhirnya menciptakan kata baru. Oleh sebab itulah, bahasa isyarat pada bahasa Indonesia dan bahasa isyarat di negara lain sangat mungkin berbeda berdasarkan kesepakatan yang telah dilakukan di masing-masing negara.

Pada mata acara “Gaul Bukan Amburadul”, peserta bertanya-tanya apakah bahasa gaul dapat merusak tatanan bahasa Indonesia. Jawabannya tidak. Bahasa gaul merupakan bagian dari kedinamisan bahasa. Terlalu sulit bagi kita untuk memisahkan mereka dalam bagian dari keragaman bahasa. Justru, keterampilan bahasalah yang membantu kita memilah bahasa apa yang tepat untuk dipakai pada konteks tertentu. Mbak Debby dan Mas Fauzan sepakat dengan hal tersebut.

Mengapa tanggal 28 Oktober dideklarasikan sebagai Hari Sumpah Pemuda? Bagaimana peran pemuda dalam pengembangan bahasa Indonesia? Berdasarkan fakta, Muh. Yamin menulis naskah Sumpah Pemuda saat masih berusia 23 tahun di Kongres Pemuda pertama. Sanusi Pane bahkan berusia lebih muda, yakni 21 tahun. Menanggapi hal itu, dalam “Mesin Waktu Bahasa Indonesia”, Pak Djoko Saryono mengatakan bahwa memang ada perbedaan sosiokultural antara zaman itu dan zaman sekarang sehingga tidak adil jika kita membandingkannya. Namun, keberanian pemuda-pemudi saat itu tentu mencatat sejarah yang fenomenal untuk perkembangan bahasa Indonesia sampai sekarang.

Sebelum menutup acara FTT, Narabahasa ingin menegaskan bahwa Oktober memang dipakai sebagai bulan peringatan, tetapi mencintai bahasa lebih baik dilakukan setiap hari. Harapannya, manfaat dari FTT dapat diaplikasikan pada sepanjang hidup kita sebagai bangsa Indonesia.

 

Penulis: Thesa Nurmanarina

Penyunting: Dwi Aprilia Kumala Dewi

Anda mungkin tertarik membaca

Tinggalkan Komentar