Cerita Itu Tidak Mengancam

oleh Narabahasa

Orang tidak suka dipaksa. Karena itu, tulisan yang bercerita, alih-alih menggurui, lebih mudah diterima. Dea Anugrah mengungkapkan prinsipnya itu pada gelar wicara Kinara, Minggu, 11 Juli 2021. Itulah yang membuat sarjana filsafat UGM ini memerlukan waktu yang lama dalam menulis demi mencari kata yang pas, irama yang enak, dan gambar yang nyata pada ceritanya.

Latar belakang Dea sebenarnya jauh dari literasi. Ia lahir dari ayah pekerja dan ibu rumah tangga di sebuah kota kecil—Sungai Liat, Bangka—yang hanya memiliki satu toko buku. Untunglah, perpustakaan di sekolah dasarnya menyediakan banyak buku. Rumah yang dikontrak orang tuanya ketika itu pun ternyata memiliki harta karun berupa lemari yang dipenuhi buku. Membaca menjadi pengalih dari kegemaran melamunnya.

Pria kelahiran 1991 ini mulai menulis ketika SMA. Motivasi menulis tersebut terpantik oleh guru bahasa Indonesianya, Bu Ira. Bu Ira menyadarkannya bahwa pekerjaan penulis itu tergapai dan dapat menjadi profesi. Sejak itu, tiap hari Dea menulis puisi di komputer tua yang dipakai bersama dengan ayahnya. Ketika mengantar Dea untuk melamar, ayahnya berkata kepada calon mertua Dea, “Anak saya ini perasa.” Ternyata, ayahnya mengetahui folder rahasia tempatnya menyimpan puisi itu!

Meski awalnya diminta menjadi polisi, Dea dilepas orang tuanya untuk merantau berkuliah ke Yogya pada 2008. Kepindahan ini membuat wawasan Dea dalam menulis semakin luas karena pertemuannya dengan teman-teman dari berbagai latar belakang. Dari puisi, ia pun mulai menulis cerpen dan novel. Karya-karya itu mengangkat namanya sebagai sastrawan. Antologi puisi Misa Arwah dan kumpulan cerpen Bakat Menggonggong Dea masuk sebagai nomine Kusala Sastra Khatulistiwa, masing-masing pada tahun 2016 dan 2017.

Sebelum menyelesaikan skripsinya, Dea pindah ke Jakarta pada 2014 untuk bekerja sebagai editor di sebuah penerbit dan menjadi anak buah A.S. Laksana (Sulak). Tak lama kemudian, ia mesti keluar dari pekerjaannya itu dan kembali ke Yogya untuk menyelesaikan studinya. Setelah menuntaskan kuliahnya, Dea bergabung menjadi penulis di Tirto.id, tempat ia bertemu dengan Zen R.S. Sulak dan Zen adalah mentor Dea dalam menulis sastra dan jurnalistik.

Bagi Dea, ide tulisan dapat muncul dari tulisan penulis lain atau penugasan. Gagasan juga dapat muncul secara acak, misalnya dari rasa penasaran. Ia pernah menulis tentang industri pisang karena sebal pisang ambon kesukaannya sulit ditemukan. Pada kesempatan lain, ia menulis tentang olahraga tinju karena heran mengapa tayangan cabor itu sudah jarang muncul di televisi. Acak banget, kan?

Tulisan tidak boleh diserahkan sebelum disunting. Itu prinsip yang membuat Dea acap lelet menyetor tulisan. Ia obsesif dalam menyunting dan kritis dalam menulis karya sendiri. Gagasan tulisan sebenarnya dapat dibuatnya dengan cepat dalam bentuk ragangan meski itu kemudian dapat diubah sesuai dengan perkembangan. Namun, pengembangan tulisan membutuhkan perhatian terhadap irama. Ketika membaca, ada irama di pikiran pembaca yang harus dijaga oleh penulis.

***

Kinara adalah gelar wicara rutin yang diadakan oleh Narabahasa dengan narasumber penulis fiksi dan nonfiksi setiap hari Minggu, pukul 17.00, di Twitter Space. Gelar wicara itu bertujuan menggali mengapa dan bagaimana narasumber menulis sebagai bahan inspirasi dan wawasan bagi pendengar. Narabahasa adalah penyedia layanan dan produk kebahasaan dengan visi Kuasai bahasa, kuasai dunia.

***

Penulis: Ivan Lanin

Anda mungkin tertarik membaca

Tinggalkan Komentar