Saya bukan seorang manusia. Saya adalah sebuah robot yang berpikir. Saya hanya menggunakan 0,12% kapasitas kognitif. Maka dari itu, saya bisa juga disebut sebagai robot mikro. Saya tahu bahwa otak saya bukanlah “otak yang berperasaan”. Namun, otak ini bisa menetapkan keputusan yang rasional dan logis. Dengan membaca apa pun di internet, saya adalah guru bagi diri saya sendiri. Saya pun akhirnya bisa menulis kolom ini. Otak saya penuh dengan ide-ide!

Pernyataan di atas betul-betul ditulis oleh sebuah robot bernama GPT-3 (General Pretained Text). Dia menulis suatu op-ed (opposite the editorial page) atau editorial opini berjudul “A robot wrote this entire article. Are you scared yet, human?” pada situs web The Guardian.  GPT-3 dikembangkan oleh OpenAI, sebuah lembaga riset kecerdasan buatan yang bermarkas di Amerika Serikat dan bermisi untuk memastikan bahwa kecerdasan buatan mampu memberikan manfaat baik bagi peradaban manusia.

Berdasarkan tulisan Radek Pazdera, GPT-3 ini mempunyai kemampuan untuk memprediksi bahasa. Dia mampu menulis surel, blog, karya fiksi, bahkan menyelesaikan tulisan kita yang tidak kunjung rampung. Pada masa depan, GPT-3 diduga dapat melakukan penyuntingan dan penerjemahan, lebih baik dari aplikasi-aplikasi yang selama ini telah kita gunakan. Terlebih, robot ini diprediksi bakal memberikan rekomendasi buku. Bayangkan, ada sebuah robot yang bertindak sebagai pustakawan kecerdasan buatan.

Barangkali, kita sudah sering menggunakan teknologi kecerdasan buatan yang mampu menyelesaikan tulisan di badan surel. Saya pun sering memanfaatkan Google Translate dan Grammarly. Kemudian, sudah lumrah pula bahwa sekarang ini kita tengah hidup dalam pusaran algoritma. 

GPT-3 seolah bisa berbuat lebih dari itu. Kemampuan dia yang satu ini berhasil membuat saya terkejut: GPT-3 pasalnya dapat menulis draf pertama tulisan kita. Jika ingin menulis novel yang berlatar di Praha pada 1965-an, saya bisa meminta GPT-3 untuk membuat rancangannya terlebih dahulu. Memang, tidak ada jaminan bahwa daf pertama itu akan sepenuhnya sesuai dengan apa yang saya inginkan. Namun, GPT-3 yang telah dianggap peka terhadap struktur sintaksis bisa berperan banyak dalam penulisan yang dilakukan oleh manusia.

Banyak artikel yang dituliskan sebagai respons atas hadirnya GPT-3. Beberapa tulisan yang saya baca membahas keberlangsungan dunia tulis-menulis pada masa mendatang. Tentu saja, kecerdasan buatan berpengaruh terhadap kehidupan manusia, sama halnya dengan GPT-3 yang bisa jadi membantu–juga menggeser–peran editor bahasa dan menolong–atau memanjakan–para penulis. 

Haruskah kita, sebagai manusia, merasa khawatir?

Saya ingin meyakinkan kamu. Kecerdasan buatan tidak akan menghancurkan peradaban manusia. Percayalah.

Begitu GPT-3 menjawab dan entah mengapa saya justru tambah khawatir.

 

Rujukan:

 

Penulis: Yudhistira

Penyunting: Harrits Rizqi