Tugas Tak Berujung

oleh Melanie Koernia

Kemarin malam saya asyik bercengkerama di grup WhatsApp bersama Pak Ivan dan Mbak Dessy. Berbagai topik kami bahas, mulai dari koordinasi kebutuhan pelatihan, pembuatan materi, gurauan-gurauan menggelitik terkait perbedaan usia, hingga kesalahan penulisan dalam surat undangan dari suatu institusi yang seharusnya tidak membuat kekhilafan itu. Kami sedih dibuatnya. Pada akhir pembicaraan, Pak Ivan mengatakan, “Tugas kita berakhir pada saat seluruh institusi sudah bagus tulisannya.”

Pikiran saya segera menerawang. Apakah saat itu benar-benar akan terjadi? Kapankah ia datang? Apa yang menjadi tolok ukur ketika itu sudah datang sehingga membuat Narabahasa pamit dari dunia kebahasaan? Sungguh sulit saya menemukan jawabannya. Lalu, saya berpikir dan bertanya-tanya, apakah justru yang dimaksud beliau adalah bahwa tugas kebahasaan ini tak akan ada akhirnya, tugas yang tak berujung?

Ilmu pengetahuan selalu berkembang dan generasi terus berganti. Setiap pergantian generasi melahirkan fenomena baru. Ada fenomena yang memang memperkaya khazanah lama. Akan tetapi, tidak sedikit juga fenomena yang muncul malah membuat pudar khazanah yang sudah terbentuk. Saya rasa, semua bidang ilmu pasti mengalami hal tersebut, tak terkecuali bidang kebahasaan.

Bahasa melekat dengan kehidupan manusia. Ia menjadi alat komunikasi dasar. Sementara itu, manusia sebagai makhluk sosial adalah makhluk yang membutuhkan eksistensi. Dalam setiap generasinya, manusia akan membuat suatu kebiasaan yang menjadi pembeda sehingga tak mengherankan jika muncul fenomena unik mengenai kebahasaan.

Kebiasaan yang muncul kadang menyulitkan dalam situasi tertentu. Karena kebiasaan meremehkan kebahasaan, misalnya, banyak orang menjadi gagap ketika berada di lingkungan formal. Mereka sulit membedakan bahasa yang baik dan benar, yang sesuai konteks dan kaidah. Mereka gugup ketika dihadapkan dengan tugas yang mengharuskan mereka untuk menggunakan keterampilan bahasa. Ejaan, kata, kalimat, dan paragraf terasa menjadi lebih sulit dari rumus turunan fisika. 

Saya pun teringat akan permasalahan yang muncul di tingkat pimpinan beberapa instansi ketika saya sedang berdiskusi dengan klien. Ada yang mengatakan bahwa persetujuan satu surat saja harus mengalami penyuntingan berkali-kali dan itu mengakibatkan pemborosan waktu kerja. Ada pula instansi induk yang terkena sindir oleh instansi yang berada di bawahnya karena surat dari si induk tidak bisa dimengerti dan, tentu saja, itu menohok ego otoritas mereka. Pimpinan resah, tetapi para pegawai menganggap hal itu tidak penting.

Hal itulah yang membuat saya memetik kesimpulan bahwa tugas kebahasaan ini tidak berujung. Ucapan Pak Ivan bukanlah ucapan biasa yang bisa diartikan dengan sederhana. Perjalanan kami masih panjang. Kami harus bisa menyebarkan kesadaran berbahasa kepada setiap orang di seluruh negeri ini. Kami tidak boleh lelah menggaungkan bahasa yang yang baik dan benar. Kesadaran dan rasa cinta terhadap bahasa sendiri sangat diperlukan sehingga muruahnya tidak akan terhapus oleh waktu. Bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa harus bisa berdiri gagah di baris paling depan. Di lain sisi, ketika satu generasi usai, akan muncul generasi sesudahnya. Jadi, mungkinkah tugas ini berujung?

Anda mungkin tertarik membaca

Tinggalkan Komentar