Narabahasa menggelar Kelas Daring Praktis (KDP) bertajuk “Kiat Menulis Artikel Ilmiah Populer” pada Selasa, 22 Maret 2022. Ivan Lanin, Direktur Utama Narabahasa, bertugas sebagai widyaiswara dalam kelas tersebut.

Ivan mengatakan, permasalahan yang terjadi ketika menulis artikel ilmiah populer ialah menulis dengan ragam formal. Padahal, kata Ivan, menulis artikel ilmiah populer tidak sama dengan artikel ilmiah murni.

“Khusus untuk urusan antara karya ilmiah populer dan ilmiah murni, karena mungkin telah terbiasa untuk menulis jurnal, begitu menulis ke media massa, gaya [menulisnya] itu sama,” katanya.

Untuk mengatasi permasalahan itu, Ivan menjabarkan tiga kiat menulis artikel ilmiah populer, yaitu memahami karakteristik, penyusunan, dan laras bahasa yang digunakan.

Artikel ilmiah populer sejatinya berakar dari karya ilmiah. Ivan menjelaskan–dengan mengutip keterangan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dalam Pedoman Karya Tulis Ilmiah (2012), karya ilmiah adalah tulisan hasil litbang dan/atau tinjauan, ulasan, kajian, dan pemikiran sistematis yang dituangkan dengan memenuhi kaidah ilmiah. Adapun kaidah ilmiah itu ialah logis, objektif, sistematis, andal, terencana, dan akumulatif. 

Karya ilmiah tersebut kemudian dibedakan menjadi dua, yakni ilmiah populer dan ilmiah murni. Keduanya memiliki perbedaan yang cukup signifikan. “Pembedanya kita lihat dari berbagai aspek,” kata Ivan.

Adapun aspek pertama ialah pembaca. Ilmiah populer dibaca oleh masyarakat umum, sedangkan ilmiah murni dibaca oleh akademisi. Perbedaan kedua dilihat dari bahasa yang digunakan. Ilmiah populer menggunakan bahasa yang mudah dipahami umum. Sementara itu, ilmiah murni menggunakan bahasa selingkung ilmiah.

“Cara paling gampang dilihat dari jumlah kalimat dalam paragraf. Kalau karya ilmiah murni itu, tiap paragraf biasanya mengandung lima sampai sepuluh kalimat. Kalau ilmiah populer, kadang-kadang satu paragraf itu hanya satu kalimat,” ungkap Ivan.

Lebih lanjut, aspek pembeda yang ketiga ialah cara penyajian. Ilmiah populer disajikan dengan fleksibel dan banyak menggunakan pengayaan materi. “Kadang-kadang juga ada kata-kata yang sifatnya subjektif,” lengkap Ivan. Hal itu berbeda dengan penyajian ilmiah murni yang kaku dan sistematis.

Namun demikian, artikel ilmiah murni dapat dikonversikan menjadi artikel ilmiah populer. Cara mengonversinya ialah dengan mengubah judul, struktur bagian, pembuka, dan penutup. Judul dapat diubah menjadi lebih menarik bagi pembaca. Struktur bagian diubah menjadi lebih fleksibel. Sementara itu, narasi pembuka dan penutup dikreasikan dengan gaya bahasa yang tidak kaku.

“Waktu kita menulis artikel [ilmiah populer] itu, kita jauh lebih bebas. Saya bahkan menggunakan peribahasa,” kata Ivan.

Selain itu, perhatikan pula panjang artikelnya. Hal ini tergantung media massa yang akan menerbitkan artikel tersebut. Contohnya, menurut Ivan, The Conversation menetapkan maksimal seribu kata. Namun, jumlah kata yang paling banyak diterapkan media kebanyakan berkisar lima ratus. 

“Jadi, sebaiknya, sebelum mengirim, lihat dulu tujuan [media] kita,” pesan Ivan.

Ivan kemudian menjelaskan tiga tahap penyusunan artikel ilmiah populer. Pertama, tahap persiapan—menentukan tema dan pola, mengumpulkan bahan, serta membuat intisari dari bahan tersebut. Kedua, tahap penyusunan artikel—membuat judul, pembuka, tubuh utama, dan penutup. Ketiga, penyelesaian—melengkapi tulisan dengan ilustrasi dan melakukan penulisan ulang.

“Yang disebut dengan penulisan ulang itu sebenarnya ketika kita pertama kali membuat draf, tulisan kita itu pasti tidak sempurna. Saya sangat menyarankan biasakan membuat kerangka karangan untuk memudahkan kita ketika menulis,” terangnya.

Dalam menyusun artikel ilmiah populer, laras bahasa harus diperhatikan. Ivan mengatakan, artikel jenis ini termasuk dalam laras bahasa jurnalistik dan ilmiah. 

“Karenanya, kita harus menggabungkan keduanya. Mereka yang terbiasa menulis karya ilmiah [murni], ketika membuat tulisan ilmiah populer, harus belajar melenturkan bahasanya,” kata Ivan.  

Laras jurnalistik mengharuskan penulis untuk menggunakan paragraf dan kalimat yang pendek serta memasukkan kata-kata yang populer. Sementara itu, laras ilmiah menggunakan paragraf dan kalimat yang panjang serta kata yang baku. Namun begitu, keduanya memakai ejaan yang tertib.

“Pemahaman terhadap hal ini (laras bahasa) membuat kita bisa membedakan cara menulis untuk berbagai keperluan,” ujarnya.

Penulis : Fath Putra Mulya
Penyunting : Harrits Rizqi