Mengenal Lanskap Linguistik

oleh Yudhistira

Ada satu kajian linguistik yang baru saya tahu, yaitu lanskap linguistik (linguistic landscape). Ternyata, lanskap linguistik yang sering disingkat menjadi LL ini dianggap tergolong ke dalam sosiolinguistik modern. Nash dalam “Is Linguistic Landscape Necessary” (2016) menuliskan bahwa lanskap linguistik secara garis besar merupakan kajian linguistik yang bertujuan menghubungkan bahasa dengan tata ruang tempat dan waktu atau spasial, semiotika dengan mobilitas, serta citra dengan interaksi sosial di suatu tempat. Lebih dari itu, lanskap linguistik pun dapat menjadi kerangka dasar untuk mengetahui pengaruh bahasa asing di suatu tempat. Hal ini kemudian bisa berujung pada penyimpulan kuat atau lemahnya bilingualisme serta multilingualisme dalam suatu masyarakat.

Dalam kacamata lanskap linguistik, tanda berdiri sebagai teks yang literal dan konkret, yang dapat dibaca, difoto, dan diselidiki. Tanda tersebut kemudian dapat dibedah secara linguistik dan budaya guna mengudar kelindan antara bahasa, kultur, serta politik dan kekuasaan.

Lanskap linguistik menjadi topik yang menarik karena kita bisa menemukan begitu banyak papan reklame di jalanan. Bahkan, rambu lalu lintas pun dapat dikaji secara lanskap linguistik. Di Indonesia, sejumlah penelitian lanskap linguistik telah dilakukan. Widiyanto (2020), misalnya, meneliti penggunaan bahasa di Stasiun Solo Balapan, Surakarta, dengan menganalisis tanda larangan, informasi, dan komersial. Widiyanto menyimpulkan bahwa tanda-tanda di Stasiun Solo Balapan menggunakan dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan Inggris. Artinya, dapat dikatakan bahwa Stasiun Solo Balapan memiliki pengunjung mancanegara.

Sementara itu, Sahril, Harahap, dan Hermanto (2019) telah mengkaji lanskap linguistik di Medan melalui enam tataran analisis, yaitu mikrolinguistik, tipe kode bahasa, perilaku bahasa,  psikologis, sosio-psikologis, dan sosiologis. Pada tahap mikrolinguistik, segala tanda dianalisis berdasarkan struktur frasa dan klausa. Hal ini kemudian berujung pada tipe kode bahasa, sebuah analisis terhadap pengaruh monolingualisme dan bilingualisme yang menentukan perilaku bahasa. Lalu, tahap psikologis bertekanan pada pemahaman atas tanda serta sikap terhadap tanda. Pada tahap sosio-psikologis, analisis menguak persepsi individu terhadap teks-teks di Medan. Yang terakhir, analisis sosiologis, berfokus pada kesejahteraan ekonomi, kekuatan politik, dan sebaran demografi yang menentukan kehadiran tanda-tanda bahasa di Medan.

Dalam kajian tersebut, para peneliti menemukan satu simpulan yang—menurut saya—menarik, yakni kecenderungan pemerintah daerah dalam menggunakan bahasa Inggris. Salah satu institusi membubuhkan frasa call center, alih-alih narahubung. Selain itu, ada pula lembaga pendidikan yang memilih untuk menulis digital library daripada perpustakaan digital.

Agaknya, hasil kajian lanskap linguistik di Indonesia tidak terlepaskan dari perkara dominasi bahasa asing dan semrawutnya penulisan bahasa nasional di ruang publik. Beberapa waktu yang lalu, saya melihat poster dari satu lembaga resmi yang bertuliskan SAYA SUDAH DI VAKSIN. Tentu saja, fenomena di- yang dirangkai dan di yang dipisah bisa mencerminkan kebiasaan kita dalam berbahasa Indonesia. Rasanya, lembaga pemerintah pun belum sepenuhnya sadar akan hal ini. 

 

Rujukan:

  • Gorter, Durk. 2016. “Introduction: The Study of the Linguistic Landscape as a New Approach to Multilingualism”. Dalam Jurnal International Journal of Multilingualism, Vol. 3, No. 1, hlm. 1–6. London: Routledge.
  • Nash, Joshua. 2016. “Is Linguistic Landscape Necessary?”. Dalam Jurnal LANDSCAPE RESEARCH, Vol. 41, No. 3, hlm. 380–384. London: Routledge.
  • Sahril, Harahap, dan Hermanto. 2019. “Lanskap Linguistik Kota Medan: Kajian Onomastika, Semiotika, dan Spasial”. Dalam Jurnal Medan Makna, Vol. XVII, No. 2, hlm. 195–2008. Sumatra: Balai Bahasa Sumatra Utara.
  • Widiyanto, Gunawan. 2020. “Meneroka Lanskap Linguistik: Kasus di Stasiun Solo Balapan Surakarta”. Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya. Jakarta: 16–18 September 2020, hlm. 177–182.

Penulis: Yudhistira

Penyunting: Ivan Lanin

Anda mungkin tertarik membaca

1 komentar

rizki 15 September 2022 - 13:49

terima kasih infonya, lebih gampang dipahami

Balas

Tinggalkan Komentar