Berdasarkan Atlas of the World’s Languages in Danger (2010) terbitan UNESCO, sekitar 230 bahasa di dunia mengalami kepunahan. Pada 2018, sepertiga bahasa-bahasa di dunia memiliki jumlah penutur yang kurang dari seribu orang. Pada 2018 pula, sebuah bahasa punah setiap dua minggu bersamaan dengan penutur terakhirnya yang meninggal dunia.

Sama seperti manusia, bahasa pun bisa mati. Faktor yang mengakibatkan matinya sebuah bahasa juga beragam. David Crystal (2014) dalam bukunya, Language Death, menulis bahwa sistem pendidikan, kehadiran media massa, dan ekosistem politik turut berandil dalam kepunahan bahasa. Intinya, budaya di suatu tempat memiliki peran dalam melestarikan bahasa penuturnya. 

The people may live, but the language may still die,” tulis Crystal. Kolonialisasi atau imigrasi, contohnya, sangat bisa memicu kemunculan dominasi budaya. Bahasa turut serta di dalamnya. Suatu bahasa yang tidak berdaya untuk berkembang makin tergerus dengan kemunculan media massa dan sistem pendidikan yang bertopang pada kemudahan akses serta arus informasi.

Mengenai dominasi dan kepunahan bahasa, Crystal memberikan skema tiga tahap yang mudah dipahami. Tahap pertama terjadi ketika orang-orang di suatu tempat secara tidak langsung dituntut untuk menguasai bahasa yang dominan, entah itu yang digunakan dalam lingkup pendidikan, pekerjaan, undang-undang, atau komunikasi sehari-hari. Fenomena ini lantas memungkinkan munculnya gejala bilingualisme sebagai tahap kedua. Lalu, pada tahap ketiga—tahap yang terakhir—generasi muda akan cenderung memilih menggunakan bahasa yang dominan.  

Selain karena kontak budaya, kepunahan bahasa juga terjadi akibat bencana alam yang memakan banyak korban jiwa. Bahkan, bencana sosial, seperti kekeringan, kelaparan, dan peperangan, bisa memusnahkan eksistensi sebuah bahasa.

In more recent times, especially in Africa, the statistics of famine, often compounded with the results of civil strife, carry an obvious implication for the languages spoken by the people most affected.” (David Crystal, 2014: 94) 

Di Indonesia sendiri, beberapa bahasa daerah sudah mengalami kepunahan. Terhitung sejak 2020, sebelas bahasa dinyatakan punah, yaitu Tandia (Papua Barat), Mawes (Papua), Kajeli/Kayeli (Maluku), Piru (Maluku), Moksela (Maluku), Palumanta (Maluku), Ternateno (Maluku Utara), Hukumina (Maluku), Hoti (Maluku), Serua (Maluku), dan Nila (Maluku).

Apa yang terjadi di Maluku? Pada 2019, Asrif selaku Kepala Kantor Bahasa Provinsi Maluku mengatakan bahwa masyarakat di ibu kota kabupaten lebih memilih menggunakan bahasa Melayu Ambon. Bahkan, ada aturan di sekolah dasar yang mewajibkan siswanya untuk berbahasa Indonesia. Sekilas, saya rasa ini merupakan aturan yang positif. Namun, sayangnya, siswa yang tidak bisa berbahasa Indonesia berpotensi menerima cibiran dan hukuman. Seolah-olah, bahasa daerah di Maluku tidak lagi menjadi prioritas bagi penutur jatinya.

#bahasapunah

Rujukan:

Penulis: Yudhistira

Penyunting: Ivan Lanin