Ide tulisan dapat muncul dari kepekaan mengamati sekitar. “Tapi, menceritakan objek saja tidak cukup. Kita harus memberikan perspektif kita agar tidak kering,” kata Iqbal Aji Daryono (IAD) pada gelar wicara Kinara Narabahasa, Minggu, 27 Juni 2021.

Esais yang tulisannya kerap muncul di berbagai media massa arus utama, seperti Detik, Mojok, dan Kumparan, itu mulai rajin menulis pada 2014 sebagai obat sepi sebagai perantau. Sejak 2013, ia menemani istrinya yang sedang belajar di Australia. Ia menceritakan (storytelling) pengalamannya di Negeri Kanguru itu melalui Facebook. Sambutan warganet membuatnya semakin bersemangat.

Setelah dikompori Puthut E.A., Iqbal mulai menulis untuk Mojok pada akhir 2014. Bersama dengan Agus Mulyadi dan Arman Dhani, ia dianggap sebagai peletak dasar gaya tulisan Mojok. Kebetulan, ketika itu sedang berlangsung pemilihan presiden. Ide pun mengalir dengan lancar dari pengamatannya terhadap berbagai isu yang menyertai peristiwa itu. Lulusan Sastra Jepang itu dapat menulis 5–6 tulisan per bulan di sela-sela pekerjaannya sebagai sopir truk di Australia.

Meski pernah membuat jenis tulisan seperti catatan perjalanan atau resensi buku, IAD paling banyak menulis esai. Menurutnya, yang terpenting dari tulisan ialah relevansi dengan kondisi. Ia juga berusaha untuk memvariasikan sudut pandang dalam tiap tulisannya berdasarkan ide dan bahan yang diperoleh dari observasi dan bacaan.

“Poin utama esai adalah perspektif,” kata Iqbal. Objek bisa saja sama, tetapi sudut pandang penulis membuatnya berbeda. Berdasarkan perspektif itu, esai dapat dikembangkan mengikuti pola umum fenomena, pendapat, argumen, dan simpulan. Namun, menurut IAD, urutan keempat elemen itu dapat diubah, misalnya dengan meletakkan simpulan pada bagian pertama.

Proses menulis Iqbal kadang terhambat ketika kekurangan bahan argumen. Namun, ia menolak menyebut itu sebagai kebuntuan penulis (writer’s block) karena, menurutnya, kebuntuan penulis hanya dialami oleh penulis fiksi. Esais dapat membangun argumen dengan data, teori, bahkan, cerita. Sumber argumen yang terakhir itu yang paling banyak dipakai olehnya.

Latar belakang sebagai penyunting buku madrasah membuat Iqbal teliti memperhatikan tulisannya. “Aku cenderung OCD terhadap tulisanku,” katanya, “dan tiap selesai satu paragraf, aku baca ulang tulisanku untuk melihat apakah ada kesalahan yang kuperbuat.” Kebiasaan ini memang membuat kecepatan menulis menjadi lambat, tetapi, menurut Iqbal, hal itu juga membuat tulisan menjadi enak mengalir dari awal sampai dengan akhir.

Menurut Iqbal, penulis esai harus terbuka terhadap kritik. Karena esai merupakan pendapat, penulisnya harus menerima pendapat berbeda dari pembaca sebagai hak demokratis. “Penulis esai ndak boleh baper,” kata Iqbal. Menulis esai merupakan sarana untuk meningkatkan daya pikir pribadi dan berlatih dialektika.

***

Kinara adalah gelar wicara rutin yang diadakan oleh Narabahasa dengan narasumber penulis fiksi dan nonfiksi setiap hari Minggu, pukul 17.00, di Twitter Space. Acara itu bertujuan menggali mengapa dan bagaimana para narasumber itu menulis sebagai bahan inspirasi dan wawasan bagi pendengar. Narabahasa adalah penyedia layanan dan produk kebahasaan dengan visi Kuasai bahasa, kuasai dunia.

***

Penulis : Ivan Lanin