Program Selisik Kebahasaan (Lisan) episode ke-27 kembali digelar secara daring pada Selasa, 30 September 2025. Episode kali ini membahas “Kritik Sastra: Dinamika Makna dalam Kalimat” yang menghadirkan Dr. Yusri Fajar, S.S., M.A., dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Brawijaya sebagai widyaiswara, serta dipandu oleh Dita Sabariah selaku moderator.
Sebelum pemaparan dimulai, Yusri membuka dengan menjelaskan bahwa setiap susunan kata dalam karya sastra selalu mengandung makna. Namun, berbeda dari teks biasa, makna dalam sastra kerap bersifat konotatif dan simbolis.
“Makna dalam kalimat karya sastra sering multitafsir karena setiap pembaca punya pengetahuan dan pengalaman yang berbeda. Interpretasi makna sangat ditentukan oleh kemampuan pembaca dalam memahami unsur-unsur karya sastra,” jelasnya.
Kritik sastra bukan sekadar analisis, melainkan juga upaya mendefinisikan, mengklasifikasi, mengevaluasi, hingga memberikan apresiasi terhadap karya sastra. “Kritik sastra penting untuk menggali makna, mengevaluasi kelebihan dan kekurangan, mendorong perkembangan sastra, serta memperkaya kajian ilmiah,” katanya.
Yusri juga menjelaskan langkah dalam menulis kritik sastra, mulai dari menentukan buku dan topik, mencari referensi pendukung, menulis dan merevisi, hingga memublikasikan hasilnya. Menurutnya, pendekatan yang digunakan bisa beragam, tetapi fokus analisis menjadi kunci utama.
Dalam diskusi, ia memaparkan ragam kritik sastra yang berkembang, seperti kritik mimetik (karya sebagai refleksi kehidupan), kritik pragmatis (dampak pada pembaca), kritik ekspresif (hubungan dengan pengarang), dan kritik objektif (fokus pada aspek intrinsik).
“Dengan bacaan yang beragam, kita menemukan makna dalam karya sastra kemudian bisa melakukan pendekatan dengan berbagai konsep. Karya sastra sangat kaya dengan makna dan menggambarkan berbagai macam fenomena yang layak dijadikan referensi untuk memperkaya pengetahuan kita,” ujar Yusri.
Dalam sesi tanya jawab, peserta menanyakan kesulitan menggali makna dan simbol dalam novel yang terlalu puitis. Menanggapi hal tersebut, Yusri menjelaskan bahwa pembaca perlu memahami gaya penulis yang kerap menggabungkan unsur realis dan surealis.
“Mau tidak mau kita harus berusaha memahami bahwa hal yang tidak nyata digunakan sastrawan untuk menggambarkan sesuatu. Selanjutnya, kita mencari konteks karya surealis itu agar dapat melihat bagaimana karya sastra merespons zamannya,” jelasnya.
Pertanyaan lain menyinggung kritik ekspresif pada puisi. Menurut Yusri, kritik ekspresif biasanya menggunakan pendekatan biografis, yakni mengaitkan karya dengan kehidupan pengarangnya. “Ada banyak karya sastra dengan gaya ekspresif yang bisa ditelaah sebagai representasi ekspresi pengarang. Dalam hal ini, karya dapat merefleksikan sikap serta pengalaman yang mewakili penulisnya,” ungkapnya.
Setelah sesi pemaparan dan tanya jawab selesai, Yusri menyampaikan pesan penutup. Ia menegaskan bahwa perkembangan sastra tidak hanya bertumpu pada para penulis atau sastrawan, melainkan juga pembaca yang memberikan apresiasi, evaluasi, analisis, dan kajian kritis.
“Peran kritik sastra sangat penting untuk menjaga denyut nadi sastra agar terus berkembang, meningkatkan kualitas, dan berjalan seiring dalam sinergi. Dengan begitu, makna dan perkembangan karya sastra bisa terus kita jaga ke depannya,” pungkasnya.
Penulis: Yuhaenida Meilani
Penyunting: Rifka Az-zahra
