Narabahasa kembali menggelar Bahas Bahasa Bersama Warganet (BBW) dengan topik “Bahasa Ibu dan Identitas: Melestarikan atau Menolak Perkembangan Zaman?”. Diskusi ini dilaksanakan secara daring melalui Zoom dan disiarkan langsung melalui YouTube Narabahasa pada Jumat, 19 Desember 2025.
BBW kali ini menghadirkan pakar linguistik, La Ode Sidu Marafad, Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Hafidz Muksin, penulis yang baru saja menerbitkan karya terbarunya menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa ibu, Willy Fahmy Agiska, serta Pemenang 1 Duta Bahasa Nasional 2025, I Gusti Ayu Chintya Pradnyandewi.
Bahasa ibu merupakan bahasa pertama yang diajarkan ibu kepada bayinya untuk berkomunikasi. Bahasa ibu tidak selalu berarti bahasa daerah, tetapi bahasa apa pun yang pertama kali digunakan anak dalam proses berbahasa. “Bahasa apa pun yang diajarkan pertama kali kepada anak untuk berkomunikasi, itulah yang disebut bahasa ibu,” jelas La Ode.
Willy juga menjelaskan bahwa bahasa ibu menghadirkan cara bernalar yang berbeda. “Bahasa ibu adalah taman bermain logika alternatif tentang dunia di sekitar kita. Ia mengakomodasi kebutuhan emosional secara optimal dan memberikan pengalaman nalar indrawi yang lebih melimpah,” ujarnya.
Senada dengan hal tersebut, La Ode menekankan fungsi bahasa daerah sebagai identitas dan pemersatu suku bangsa, sekaligus sebagai sumber pengetahuan. “Bahasa daerah merupakan lumbung ilmu pengetahuan bahasa. Karena fungsi inilah, bahasa ibu tidak boleh punah, hilang, atau mati, tetapi harus dilestarikan,” ujarnya.
Hafidz menyoroti tantangan utama dalam upaya revitalisasi bahasa daerah yang berasal dari sikap masyarakat. Ia menjelaskan, “Orang tua tidak lagi mewariskan bahasa daerah kepada anak-anaknya. Anak-anak kemudian merasa malu dan tidak percaya diri menggunakan bahasa daerah karena pengaruh pergaulan dan teknologi,” ungkapnya.
Ayu turut menambahkan bahwa bahasa ibu memiliki peran penting dalam pembentukan identitas. Menurutnya, bahasa ibu adalah bahasa yang membesarkan sekaligus bahasa yang mengeksplorasi budaya dan norma di lingkungan sekitar.
“Bahasa ibu tidak hanya soal mengajarkan kata-kata, tetapi juga nilai budaya dan etika tempat seseorang tumbuh, serta mendekatkan penuturnya dengan pelukan budaya,” ungkap Ayu.
Dalam sesi tanya jawab, salah satu peserta menanyakan kondisi pemertahanan bahasa daerah saat ini. Hafidz menjelaskan bahwa terdapat bahasa daerah yang sudah punah, rentan, kritis, dan hampir punah, meskipun ada pula yang masih tergolong aman meski jumlah penuturnya terus berkurang. “Yang dibutuhkan adalah fokus pada penutur muda agar mengenal, mencintai, dan menguasai bahasa daerah, serta mengoptimalkan teknologi dalam pelestariannya,” ujarnya.
Menanggapi hal itu, La Ode menekankan pentingnya peran keluarga. Menurutnya, banyak orang tua kini lebih memilih mengajarkan bahasa Indonesia sejak dini karena alasan kesiapan sekolah sehingga bahasa daerah tidak diajarkan. Ia menilai diperlukan partisipasi keluarga, masyarakat, dan pemerintah agar upaya pelestarian bahasa daerah terus berjalan.
Diskusi BBW kali ini ditutup dengan pembacaan puisi oleh Willy dalam dua bahasa, yakni bahasa Sunda dan bahasa Indonesia. Pembacaan puisi tersebut memberikan pengalaman baru bagi peserta sekaligus menjadi bentuk konkret upaya pembelajaran dan pelestarian bahasa daerah.
Penulis: Yuhaenida Meilani
Penyunting: Ivan Lanin
