Sekilas tentang Sutan Takdir Alisjahbana

oleh Yudhistira
ilustrasi Sutan Takdir Alisjahbana

Ketika berbicara tentang bahasa Indonesia, kita tidak dapat melepaskan satu nama untuk dibahas, yakni Sutan Takdir Alisjahbana. Nama beliau kerap kali disingkat menjadi STA. Sebagai guru, budayawan, dan ahli bahasa, STA tidak hanya menyiarkan bahasa Indonesia lewat karya sastra yang dihasilkannya. Pemikiran beliau turut membangun tiang-tiang tata bahasa Indonesia.

STA merupakan putra asli Indonesia dan keturunan langsung dari keluarga Kerajaan Inderapura. Saat menggeluti profesi sebagai guru, STA pernah menampari seluruh murid di kelasnya karena mereka sering mencatatkan nilai yang jelek. Para murid kemudian pergi ke surat kabar Pertja Selatan. Salah satu kolom berita memuat namanya dengan tajuk “Guru yang Ganas”. 

Karena ketidaksabarannya itu, STA melepas profesinya sebagai guru dan terjun ke dunia tulis-menulis. Dalam memoarnya, STA menulis, “Karena jadi guru tidak sabar, saya melamar ke Balai Pustaka, yang mencari redaktur untuk Panji Pustaka. Tidak diterima. Tapi, saya diterima jadi redaktur di bagian buku.” Pada 1933, ia kemudian memimpin majalah Pandji Poestaka dan pertemuan beliau dengan Amir Hamzah serta Armijn Pane merupakan benih kelahiran majalah Pujangga Baru.

Rasanya tidak akan habis jika membahas kiprah dan sumbangsih STA terhadap perkembangan bahasa Indonesia. Semasa hidupnya, beliau membaktikan diri untuk menyusun dan melestarikan berbagai pandangan melalui bahasa, sastra, budaya, hingga filsafat. Dialah salah satu pelopor angkatan Pujangga Baru. Beliau pun memiliki semangat untuk mengembangkan budaya Indonesia dengan berpatokan pada kejayaan Renaisans. Kurang lebih 30 buku telah lahir dari tangannya dan 10 di antaranya merupakan buku mengenai bahasa Indonesia.

Menurut Ignas Kleden, STA berpandangan bahwa bahasa Indonesia harus mampu melayani kebutuhan manusia modern, selaras dengan perkembangan ilmu serta teknologi. Dengan ini, bahasa Indonesia bisa memayungi segala macam bidang dan memudahkan penyebaran pengetahuan lewat kerja penerjemahan. Baginya, ilmu pengetahuan—termasuk bahasa— harus bisa membawa terang dan menjawab pelbagai persoalan hidup.

 

Rujukan: Pusat Data dan Analisa Tempo. 2019. Memoar Sutan Takdir Alisjahbana. TEMPO Publishing.

Penulis: Yudhistira

Penyunting: Ivan Lanin

Anda mungkin tertarik membaca

Tinggalkan Komentar