Ekolinguistik: Hubungan Bahasa dengan Lingkungan Sekitar
Kita mungkin pernah mendengar dan mempelajari cabang-cabang linguistik terapan, seperti linguistik forensik, penerjemahan, dan perkamusan. Ada pula kajian linguistik interdisipliner, misalnya sosiolinguistik dan psikolinguistik. Kali ini, kita akan berkenalan dengan cabang linguistik interdisipliner lainnya, yakni ekolinguistik.
Agus Subiyanto (2013) dalam “Ekolinguistik: Model Analisis dan Penerapannya” menerangkan bahwa kajian ini bermula dari paradigma ekologi bahasa yang dicetuskan oleh Einar Haugen pada 1970-an. Pada 1990, pakar linguistik bernama Michael Halliday memelopori istilah ekolinguistik. Menurut Halliday, bahasa dan lingkungan merupakan dua elemen yang saling memengaruhi. Pendekatan teoretis dan model analisis ekolinguistik lantas dikembangkan oleh Jorgen Chr Bang dan Jorgen Door pada 1993. Dari sinilah ekolinguistik memiliki tiga dimensi, yaitu (1) dimensi ideologis yang mencakup sistem psikis, kognitif, dan mental individu atau kolektif; (2) dimensi sosiologis yang memayungi cara berelasi antarsesama; serta (3) dimensi biologis yang meliputi hubungan manusia dengan spesies lain. Ekolinguistik melihat bahasa sebagai bagian dari praksis sosial.
Saya sempat kebingungan. Apabila ekolinguistik juga menyoroti ihwal sosiologi, apa bedanya cabang ini dengan sosiolinguistik? Penjelasan dalam The Routledge Handbook of Ecolinguistics bisa memberikan jawaban yang cukup menerangkan. Dituliskan bahwa dalam ekologi linguistik, hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan kondisi alam sekitarnya merupakan unsur terpenting. Bahkan, ekolinguistik juga mencermati dampak bahasa terhadap kelestarian lingkungan alam.
Salah satu penelitian ekolinguistik yang saya temukan membahas pemanfaatan kosakata fauna dalam metafora yang berbentuk pepatah atau nasihat. Pada 2016, Wiya Suktiningsih mengkaji leksikon fauna dalam masyarakat Sunda. Dalam bahasa Sunda, gaang bermakna ‘anjing tanah’–yang jarang terlihat karena lebih suka bersembunyi. Gaang biasa mencari makanan pada malam hari. Di saat mencari mangsa itulah gaang mengeluarkan suaranya tanpa henti. Namun, ketika manusia berupaya mencari sumber bunyi tersebut atau berusaha menemukan tempat binatang itu bernaung, suara gaang seketika lenyap. Lahirlah sebuah ungkapan dalam masyarakat Sunda yang berbunyi Loba ari piomongeun téa mah, ngan beurat rék kedal téh, jep jempé lir gaang katincak. Artinya, Banyak hal yang harus dibicarakan, tetapi berat rasanya untuk diungkapkan, lebih baik diam seperti gaang.
#linguistik #ekolinguistik
Rujukan:
- Fill, Alwin F. & Penz Hermine. 2018. The Routledge Handbook of Ecolinguistics. New York: Routledge.
- Subiyanto, Agus. 2013. “Ekolinguistik: Model Analisis dan Penerapannya”. Dalam Humanika: Jurnal Ilmiah Kajian Humaniora, Volume 18, Nomor 2, Juli. Semarang: Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro.
- Suktiningsih, Wiya. 2016. “Leksikon Fauna Masyarakat Sunda: Kajian Ekolinguistik”. Dalam Retorika: Jurnal Ilmu Bahasa, Volume 2, Nomor 1, April, hlm. 142–160. Bali: Program Studi Magister Ilmu Linguistik, Universitas Warmadewa.
Penulis: Yudhistira
Penyunting: Ivan Lanin
Daftar Tag:
Artikel & Berita Terbaru
- Bagaimana Anak Memperoleh Keterampilan Berbahasa?
- Menelisik Peran Nama pada Tempat melalui Kajian Toponimi
- Nilai Religius Ungkapan Kematian
- Ngapain?
- Nasib Jurnalisme Investigasi dalam RUU Penyiaran
- Aman Aja
- WIKOM BPOM 2024 bersama Narabahasa
- Bimbingan Teknis Mahkamah Agung bersama Narabahasa
- Tapak Tilas Menulis Horor bersama Diosetta
- Tabah bersama Uni Salsa,Terbaik V Putri Duta Bahasa 2023
- Korespondensi dan Wicara Publik bersama BPK RI
- Bimbingan Teknis Polda Metro Jaya bersama Narabahasa