Mengenal Dialektologi: Sebuah Sejarah Singkat

oleh Shafira Deiktya Emte

Bahasa adalah salah satu bentuk kebudayaan yang terus berkembang mengikuti penuturnya. Perkembangan tersebut memunculkan berbagai variasi bahasa yang digunakan oleh masyarakat, baik yang disebabkan faktor sosial maupun geografis. Dalam ilmu linguistik, variasi bahasa berdasarkan faktor sosial dibahas lebih lanjut dalam cabang ilmu sosiolinguistik, sedangkan variasi bahasa berdasarkan faktor geografis dibahas dalam cabang ilmu dialektologi. Dalam tulisan kali ini, saya akan fokus membahas variasi bahasa menurut faktor geografis, yaitu dialektologi atau geolinguistik.

Dialektologi adalah studi mengenai variasi bahasa (dialek) yang digunakan oleh kelompok masyarakat yang lebih kecil daripada total masyarakat yang menggunakan suatu bahasa tertentu (Francis, 1989). Variasi bahasa dapat saling berbeda dalam banyak dimensi, baik dari hal fonologis, leksikal, tata bahasa, maupun semantik. Variasi bahasa dalam dialektologi biasanya lahir karena batas-batas geografis yang memisahkan para penutur bahasa. Francis (1989) menyatakan bahwa biasanya daerah dengan area geografis yang luas dan hanya terdapat satu bahasa yang digunakan, seperti Prancis dan Italia, melalui perkembangannya akan terbagi menjadi beberapa bentuk dialek.

 

Perkembangan Awal

Dialektogi lahir seiring dengan pengaruh aliran romantik di Eropa terhadap bidang linguistik yang kemudian mengilhami gagasan untuk melestarikan bahasa-bahasa yang dianggap lebih wajar dijumpai dalam kehidupan sehari-hari (Zulaeha, 2017). Pada masa itu, terdapat pula pandangan yang beranggapan bahwa bahasa baku yang ada tidak mencerminkan bahasa yang sesungguhnya digunakan masyarakat dalam kesehariannya. Pandangan tersebut juga dipengaruhi oleh munculnya hukum perubahan bunyi tanpa kecuali oleh kelompok Neogrammarian yang menyatakan bahwa perubahan bunyi dapat menyebabkan suatu dialek mengalami kepunahan. Hal ini karena pada masa itu juga terdapat penilaian yang memisahkan antara bahasa yang bagus (bahasa baku) dan bahasa yang tidak bagus (dialek). 

Dialektologi baru mendapat perhatian dari para ahli bahasa menjelang akhir abad ke-19. Namun, sebelumnya telah banyak pula dilakukan penulisan tentang hal-hal yang bertalian dengan dialek. Dua di antaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Gustav Wenker pada 1876 dengan metode kuesioner yang diberikan kepada guru-guru di daerah Renia (Jerman) dan oleh Jules Louis Gillieron pada 1880 di daeran Vionnaz (Swiss) dengan metode pupuan (angket) lapangan untuk pembuatan atlas bahasa. Kedua tokoh tersebut dapat dianggap sebagai “bapak” ilmu geografi dialek di negaranya masing-masing.

Ayatrohaedi (1979) memberikan gambaran secara singkat mengenai perkembangan dialektologi sebelum dan sesudah penelitian Wenker dan Gillieron. Pada masa sebelum 1875, tulisan-tulisan mengenai dialek hampir selalu dikaitkan dengan tulisan pada bidang ilmu bahasa bandingan dan filologi, terutama bahasa-bahasa Indo-Eropa. Tulisan-tulisan tersebut pada umumnya membandingkan suatu bahasa atau dialek tertentu dengan bahasa lain dan hampir selalu diakhiri dengan kesimpulan atau dugaan bahwa bahasa atau dialek yang mereka telaah itu berkerabat. 

Sebelumnya, tulisan-tulisan tersebut hanya dilakukan untuk mengetahui batas bahasa dan dialek. Namun, pada 1584, di Italia dilakukan penerjemahan naskah de Cameron  dengan metode pupuan sinurat (angket koresponden) yang berpengaruh besar terhadap karya-karya sejenisnya. Naskah klasik de Cameron diterjemahkan ke dalam dua belas dialek bahasa Italia. Hal ini dilakukan sebagai upaya penentangan akan pendapat bahasa yang bagus (bahasa baku) dan bahasa yang tidak bagus (dialek). Usaha tersebut kemudian membuat Italia dipandang sebagai tempat awal lahirnya kajian dialektologi (Zulaeha, 2017). Selain itu, muncul metode pupuan lapangan, yaitu metode yang mengumpulkan data secara langsung atau lisan yang pertama kalinya dilakukan oleh Martin Sarmiento pada 1730. 

Pada 1790, metode pupuan sinurat digunakan oleh Jean-Baptiste Gregoire di Prancis untuk mengetahui pandangan orang mengenai dialeknya masing-masing. Penelitian tersebut memiliki agenda terselubung, yakni digunakan untuk melenyapkan dialek di Prancis dan mendukung penggunaan bahasa nasional secara universal—lengkap dengan cara dan tekniknya. Pelenyapan dialek ini kemudian mendapatkan tantangan keras dari berbagai pihak.

Pada akhir abad ke-18, timbul gerakan kebangsaan di Denmark yang juga menentang upaya pelenyapan dialek oleh berbagai pihak. Di lain sisi, pada abad yang sama, metode pupuan sinurat juga dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri Perancis untuk mengetahui batas bahasa yang terlihat dalam peta bahasa yang membatasi tuturan-tuturan yang digunakan di Prancis. 

Pada awal abad ke-19, berkembang penelitian kaidah fonetik yang kelak mendasari penelitian geografi dialek. Penelitian tersebut dilanjutkan dengan pembuatan peta bahasa yang dikemukakan oleh Baron Claude Francois Etienne Dupin pada 1814. Peta bahasa digunakan untuk memperoleh gambaran kedudukan dialek yang satu dengan yang lainnya.

Pada masa sesudah tahun 1875 terdapat dua aliran yang dominan dalam studi dialektologi, yaitu aliran Jerman dan aliran Prancis. Aliran Jerman dipelopori oleh Gustav Wenker pada 1876. Ia melakukan penelitiannya dengan mengirimkan daftar pertanyaan kepada guru-guru di Renia, Jerman. Tujuannya untuk mengumpulkan bahan-bahan yang bertalian dengan wujud fonetik bahasa rakyat di Renia dan memetakannya. Metode yang digunakan adalah metode pupuan sinurat. Akibat penggunaan metode tersebut, Wenker mendapat kecaman oleh Karl Haag. Haag berpendapat pupuan lapangan jauh lebih bernilai daripada pupuan sinurat. Meskipun dikecam Haag, metode Wenker ini tetap digunakan oleh Hermann Fisher untuk mempelajari dialek Suabia. Setelah Wenker meninggal, pengarahan dialektologi di Jerman dipegang oleh Ferdinand Wrede. Pada 1920, Zentralstelle fúr den Sprachatlas des Deutschen Reiches und deutsche Mundartforschung—kantor pusat atlas linguistik dan kegiatan penelitian dialek Jerman—didirikan di Marburg, Jerman. Pada 1926, Wrede menerbitkan buku pertama atlas berbahasa Jerman. Pada 1939, Walther Mitzka melakukan penelitian dialektologi dengan menggunakan metode pupuan sinurat yang bertujuan untuk mendokumentasikan kata-kata yang masih digunakan dalam bahasa Jerman.

Di lain sisi, aliran Prancis dimulai oleh Jules Louis Gillieron yang melakukan penelitian lapangan di Vionnaz, Swis pada 1880. Dalam penelitiannya tersebut, Gillieron memilih kurang-lebih 200 kata untuk ditentukan kaidah fonetiknya. Pada 1887, pendeta P.J. Rousselot  menunjukkan sebuah metode ilmiah dalam mempelajari dialek. Ia mengungkapkan syarat penelitian, yaitu kemampuan peneliti, cara memberikan keterangan, dan masalah yang diteliti. Tahun 1888, Gaston Paris menganjurkan melakukan penelitian mengenai nama-nama tempat di Prancis, dialek, dan pembuatan atlas fonetik untuk seluruh Prancis serta berbagai monografi untuk setiap lingkungan masyarakat Prancis. Penelitian tersebut memerlukan penelaahan naskah tua, yakni dengan membandingkan bahasa masa kini untuk memperoleh pemahaman yang baik mengenai keadaan kebahasaan tersebut. Pada 1897, Edmond Edmont membuat Atlas Linguistique de France (ALF) yang disusun selama empat tahun, sedangkan hasilnya—yang terdiri atas 35 fascicule—terbit dalam waktu delapan tahun. Mulai dari 1939, dengan prakarsa Albert Dauzat dalam karyanya Nouvel atlas linguistique de France par regions, perkembangan dialektologi dengan metode pupuan lapangan di Prancis mulai terarah. Selain di Prancis, metode pupuan lapangan yang diarahkan kepada pembuatan peta bahasa juga diterapkan di negara-negara lain, termasuk di Indonesia.

 

Perkembangan Mutakhir

Dalam perkembangan selanjutnya, dialektologi cenderung memaparkan hubungan antarragam bahasa dengan bertumpu pada satuan ruang tempat terwujudnya ragam-ragam itu pada saat penelitian itu dilakukan sehingga kesimpulan yang dihasilkan dapat diperiksa kebenarannya (Lauder, 2001:1). Ayatrohaedi (1979) dalam bukunya Dialektologi: Sebuah Pengantar menyatakan bahwa dialek berkembang menuju dua arah, yaitu menjadi lebih luas daerah pakainya—bahkan dapat menjadi bahasa baku—atau dapat lenyap. Perkembangan dialek menuju arah yang membaik maupun memburuk tersebut dikembalikan kepada faktor-faktor yang menjadi penunjangnya. Faktor tersebut dapat berasal dari unsur kebahasaan ataupun di luar bahasa. Salah satu contoh faktor di luar bahasa adalah keadaan alam yang dapat memengaruhi ruang gerak penduduk setempat, baik dalam mempermudah penduduk berkomunikasi dengan dunia luar atau mengurangi adanya kemungkinan itu (Guiraud dalam Ayatrohaedi, 1979: 6). Selain keadaan alam, bidang politik dan ekonomi juga menjadi salah satu sarana terjadinya pertukaran bahasa. Hal tersebut diperkuat dengan pendapat (Meilliet dalam Ayatrohaedi, 1967: 72) yang menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menentukan penobatan suatu dialek menjadi bahasa baku adalah politik, kebudayaan, dan ekonomi. Dalam proses tersebut, terdapat jasa dari kaum perantara yang terdiri atas mereka yang berpendidikan dan menguasai bahasa budayanya.

Di Indonesia, salah satu contoh perkembangan dialek yang membaik adalah pembakuan bahasa Jawa yang didasarkan pada bahasa Jawa di Kota Surakarta, terutama yang digunakan di lingkungan keraton. Hal itu disebabkan anggapan masyarakat bahwa keraton juga berperan sebagai pemelihara perkembangan kebudayaan (termasuk bahasa) selain sebagai pusat kegiatan politik dan pemerintah. Oleh sebab itu, bahasa Jawa Surakarta dapat diterima dengan baik sebagai dasar bahasa baku bahasa Jawa. Fenomena ini menunjukkan bahwa faktor-faktor luar bahasa dapat sangat menentukan perkembangan dialek. Dalam kasus bahasa Jawa tersebut, terutama terlihat pada peningkatan dan penobatannya menjadi bahasa baku dari bahasa yang bersangkutan. 

Di lain sisi, memburuknya perkembangan suatu bahasa atau dialek disebabkan oleh berbagai faktor yang pada umumnya berupa faktor luar bahasa, salah satunya adalah faktor sosial. Contohnya adalah pada tingkatan bahasa daerah. Bahasa daerah yang terdapat di tempat-tempat terpencil biasanya memiliki jumlah penutur yang sedikit dan karenanya memiliki potensi yang besar untuk lenyap. Sementara itu, pada tingkatan dialek yang lebih besar, dialek-dialek di kota juga rentan untuk hilang karena bersentuhan dengan bahasa baku dari bahasa kebangsaan di kota tersebut. Bahasa baku ini biasanya jauh lebih sering dituturkan dibandingkan dengan dialek daerah yang digunakan oleh penduduk aslinya.

Hingga saat ini, studi dialektologi terus dikembangkan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Sebagai negara dengan 718 bahasa daerah dan ribuan dialek, Indonesia menjadi ladang penelitian dialektologi yang kaya raya. Dengan melakukan penelitian dialektologi, satu demi satu kekayaan bahasa di negeri kita dapat diungkap, didokumentasikan, dipetakan, dan dilestarikan agar dapat terus dituturkan pada masa yang akan datang.

Rujukan:

Ayatrohaedi. 1979. Dialektologi: Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Francis, W.N. 1989. Dialectology: An Introduction. New York: Longman Inc.

Lauder, Multamia R.M.T. 2001. “Perkembangan Kajian Dialektologi di Indonesia”. Makalah Pelbba 15, Jakarta 24—25 Juli.

Zulaeha, Ida. 2017. “Ihwal Dialektologi”. http://blog.unnes.ac.id/idazulaeha/2017/03/02/8/ diakses pada 7 Mei 2020 pukul 08.21 WIB.

Penulis: Shafira Deiktya Emte

Penyunting: Ivan Lanin

Anda mungkin tertarik membaca

Tinggalkan Komentar