Bahasa kita mengenal kata batu sebagai sebutan untuk ‘benda keras dan padat yang berasal dari bumi atau planet lain, tetapi bukan logam’. Di jalanan, kita bisa menemukan batu, baik yang berukuran kecil maupun besar. Di sekolah, kantor, bahkan pada lingkup keluarga, kita juga berhadapan dengan orang-orang yang berkepala batu. Dengan kata lain, batu bukanlah kata dan sifat yang asing lagi bagi kita.
Tahukah Kerabat Nara bahwa bahasa memiliki keluarga? Setiap bahasa memiliki saudara dan orang tua, sama seperti manusia. Apabila bahasa Indonesia memuat kata batu, Republik Kepulauan Fiji di selatan Samudra Pasifik memiliki kata vatu. Suku Maori, penduduk asli Polinesia yang tiba di Selandia Baru pada 1320–1350-an, menggunakan kata kofatu. Contoh lain, bahasa Tagalog dan Samoa menggunakan kata dalawa dan lua untuk mengartikan dua. Semua bahasa itu satu keluarga dengan bahasa Indonesia.
Barangkali kita sudah paham bahwa bahasa Indonesia adalah penyempurnaan bahasa Melayu. Jauh sebelum Indonesia merdeka, para pelayar dari Tiongkok telah menemukan eksistensi basantara (lingua franca) di Nusantara. Sriwijaya, salah satu kerajaan terbesar di Asia Tenggara pun memanfaatkan, bahkan turut membesarkan, bahasa Melayu. Pertanyaannya, dari mana bahasa Melayu berasal?
Sneddon dalam The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society (2003: 33) menulis sebagai berikut.
“Two thousand years ago, the speakers of the Malayic language who had travelled from Borneo had spread along much of the coast of south-eastern Sumatra. At a later date, some of these people moved to the interior of southern Sumatra, where their dialects gave rise to Minangkabau, Kerinci and Central Malay. But it was the dialects spoken in the lower river courses in eastern Sumatra and off-shore islands that gave rise to Malay.”
Di Nusantara, bahasa Melayu Kuno memang dianggap mulai menyebar di Kalimantan dan Sumatra. Sebelumnya, menurut Peter Bellwood dan Robert Blust—seorang arkeolog dan linguis—bahasa Melayu Kuno pada mulanya diduga berkembang di Filipina. Pertanyaan selanjutnya muncul: Bagaimana bahasa Melayu Kuno bisa berkembang di Filipina?
Apabila ditarik lebih jauh lagi, di Filipina, terdapat satu kelompok penutur bahasa bernama Melayu-Polinesia. Kelompok ini terbagi menjadi dua, yakni Melayu-Polinesia Barat (Western Malayo-Polynesian) yang berjelajah ke Borneo dan Melayu-Polinesia Tengah-Timur (Central-Eastern Malayo Polynesian) yang memasuki kawasan Maluku Utara.
Melayu-Polinesia adalah subrumpun dalam rumpun bahasa Austronesia. Rumpun Austronesia ini memiliki orang tua, yakni proto-Austronesia, yang dianggap pertama kali dituturkan di Taiwan, sekitar 6.000 tahun yang lalu. Sneddon lantas menceritakan lebih lanjut bahwa populasi di Taiwan kala itu terpecah menjadi empat kelompok. Salah satu kelompok itu lalu berpindah menuju bagian selatan Taiwan dan meneruskan perjalanan hingga Luzon, sebuah pulau di bagian utara Filipina.
Demikianlah pemaparan para peneliti mengenai asal-usul bahasa Melayu. Dengan mempelajari rumpun bahasa, kita bisa memahami kemiripan kata pada beberapa bahasa yang berada dalam satu rumpun. Rumpun Austronesia sendiri memiliki cakupan wilayah yang luas, yaitu dari Madagaskar sampai Pulau Paskah, dan dari Taiwan, Hawaii, hingga Selandia Baru. Maka, tidak heran kata batu dan dua yang saya sebutkan pada bagian awal tadi bisa mempunyai bentuk-bentuk yang mirip pada bahasa lain.
Rujukan:
- Firdausi, Fadrik Aziz. 2020. “Sejarah Bahasa Melayu sebagai Lingua Franca di Asia Tenggara”. Diakses pada 23 Juli 2021.
- Kridalaksana, Harimurti. (Ed). 1991. Masa Lampau Bahasa Indonesia: Sebuah Bunga Rampai. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
- Kushartanti, Yuwono dan Lauder. (Ed). 2005. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
- Sneddon, James. 2003. The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society. Sydney: University of New South Wales.
Penulis: Yudhistira
Penyunting: Ivan Lanin