Tanggal 1 Februari 2020 menandai lembaran baru dalam prakarsa pemartabatan bahasa. Narabahasa lahir pada hari tersebut. Sebagai penyedia layanan dan produk kebahasaan, Narabahasa hadir dengan visi “Kuasai Bahasa, Kuasai Dunia”. Narabahasa yakin bahwa bahasa adalah kunci untuk menguasai dunia. Kebernasan tulisan dan kefasihan tuturan membuat insan bersinar. Sebaliknya, pena yang tumpul dan lidah yang gagap dapat menenggelamkan pikiran yang cemerlang.

Tidak terasa, sudah satu tahun Narabahasa hadir dengan mengupayakan misi mengungkit muruah bahasa Indonesia di dunia serta meningkatkan keterampilan bahasa bangsa Indonesia. Oleh karena itu, sebagai tanda perayaan, Narabahasa menyelenggarakan Gelar Syukur: Satu Tahun Narabahasa dalam tajuk besar Selebrasi Narabahasa (Senara): Irama Satu Tahun Perjalanan. Gelar syukur tersebut sudah terselenggara pada 14 Februari 2021, pukul 15.00–16.00 WIB, disiarkan langsung melalui YouTube Narabahasa

Gelar Syukur: Satu Tahun Narabahasa yang dipandu oleh pewara, Irfan Fachrezy, terdiri atas empat segmen acara. Pertama, pemutaran video persembahan Tim Narabahasa untuk Kerabat Nara –sapaan untuk audiens Narabahasa. Kedua, pidato kebahasaan yang dibawakan oleh Direktur Utama Narabahasa, Ivan Lanin. Ketiga, bincang-bincang terbuka antara Direktur Utama dan dua perwakilan Kerabat Nara. Keempat, pemotongan tumpeng sebagai tanda syukur perjalanan satu tahun Narabahasa yang diwakili oleh Ivan Lanin dan Dessy Irawan. Keempat segmen tersebut juga dialihwahanakan ke dalam bahasa isyarat oleh seorang penerjemah Indonesia–isyarat bernama Andhika Pratama.

 

Pesan Tak Sampai

Pidato Kebahasaan Direktur Utama Narabahasa, Ivan Lanin,

pada acara #SatuTahunNara, 14 Februari 2021

Tabik, Kerabat Nara!

         Tadi pagi saya membaca twit yang berbunyi, “Rayakan momen Valentinemu dengan memasak pasangan.” Imajinasi liar saya langsung membayangkan Hannibal Lecter sedang memasak Clarice Starling. Ketidakcermatan untuk menyelipkan kata “bersama” dan “untuk” di antara “memasak” dan “pasangan” menyebabkan pesan romantis yang diinginkan tak sampai, bahkan mengundang gelak.

         Ketidakcermatan merupakan salah satu dari tiga penyebab kesalahan berbahasa. Dua penyebab yang lain ialah ketidaktahuan dan ketidakpedulian. Jika diurutkan dari yang paling sederhana, kesalahan berbahasa pertama-tama disebabkan oleh ketidaktahuan terhadap kaidah bahasa. Setelah tahu, kesalahan berbahasa dapat muncul karena ketidakcermatan. Terakhir, meski sudah tahu dan sudah cermat, penutur dapat tidak peduli dengan kaidah kebahasaan. Yang terakhir ini yang paling berat untuk ditangani.

         Kesalahan berbahasa sendiri dapat terjadi pada berbagai tataran bahasa, mulai dari bunyi pada ragam lisan dan ejaan pada ragam tulis, hingga wacana dalam bentuk ujaran maupun tulisan. Pada tataran bunyi, misalnya, kita kerap mengucapkan “materai”, padahal yang baku “meterai”. Pada tataran ejaan, tidak terhitung salah tik yang kita jumpai dalam kiriman media sosial. Pada tataran kata, kesalahan pemilihan kata “Saudara” alih-alih “Bapak/Ibu” pada surat resmi dapat menimbulkan ketersinggungan. Pada tataran kalimat, ketidakefektifan kalimat dapat menyebabkan pendengar pidato ilmiah sulit memahami apa yang dimaksud oleh seorang cendekiawan—seberapa pun pintarnya ilmuwan itu. Pada tataran paragraf, ketidakjelasan kalimat utama dapat menghabiskan waktu pembaca untuk memahami gagasan yang disampaikan. Terakhir, pada tataran wacana, ceramah atau tulisan yang tidak koheren antara bagian pembuka, isi, dan penutupnya malah dapat menimbulkan kebingungan bagi audiens.

         Kesalahan berbahasa mengganggu penyampaian pesan. Pesan tak dapat disampaikan sesuai dengan yang dimaksud. Pemastian penyampaian pesan justru hanya dapat kita dicapai dengan memastikan ketertiban bahasa yang kita gunakan. Ini paradoks dengan apa yang kerap diucapkan orang, “Ah, tidak apa-apa salah ngomong atau salah tulis. Yang penting pesannya sampai.”

         Pengenalan terhadap tiga penyebab kesalahan berbahasa yang sudah disebutkan sebelumnya—ketidaktahuan, ketidakcermatan, dan ketidakpedulian—niscaya membuat penyampaian pesan lebih efektif, dengan manfaat tambahan berupa naiknya citra sang pemberi pesan. Sekarang, mari kita bedah satu per satu ketiga penyebab kesalahan berbahasa itu.

Ketidaktahuan

Penutur asli suatu bahasa mempelajari bahasanya secara alamiah dan kadang dengan tidak sistematis. Ini berbeda dengan ketika ia belajar bahasa lain. Penutur bahasa Indonesia, misalnya, acap lebih mafhum pemasangan “either-or” dan “neither-nor” daripada “tidak-tetapi” dan “bukan-melainkan”. Kita dapat menerima ratusan kata kerja tidak beraturan dalam bahasa Inggris daripada menerima dua pengecualian hukum peluluhan KPST pada kata kerja “mempunyai” dan “mengkaji”.

         Bahasa Indonesia punya tata bahasa atau gramatika. Itu yang kita pelajari dalam mata pelajaran atau mata kuliah “Bahasa Indonesia” dari kecil. Namun, entah mengapa, banyak pengetahuan kaidah tata bahasa kita yang lenyap setelah dewasa. Misalnya, kita sering lupa bahwa kata negasi untuk “masalah” itu “bukan”, bukan “tidak” karena kata itu merupakan kata benda. Bukan masalah, kan?

         Kaidah tata bahasa merupakan satu dari tiga kaidah bahasa Indonesia yang disebutkan pada Pasal 2 ayat 4 Perpres 63/2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia. Dua yang lain ialah kaidah ejaan dan kaidah pembentukan istilah. Selain ketiga kaidah itu, kita juga menstandarkan penulisan kata kita dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Ketidakcermatan

Setelah mengetahui tiga kaidah bahasa dan kata baku, hal berikutnya yang perlu diperhatikan ialah mempraktikkan pengetahuan itu. Untuk melakukan itu, kita perlu meningkatkan standar mutu kita. Orang Indonesia, menurut Koentjaraningrat dalam Rintangan-Rintangan Mental dalam Pembangunan Ekonomi di Indonesia (1969), memiliki sifat merendahkan mutu. Ini tecermin juga dalam perilaku kita dalam berbahasa. Kita kerap tidak cermat dalam menulis atau berbicara.

         Kecermatan dalam berbahasa harus dimulai dengan menghargai mutu. Ketika menghargai mutu produk bahasa yang dihasilkan, kita akan lebih berhati-hati dalam menulis atau berbicara pada ragam apa pun. Laras bahasa tertentu seperti sastra dan kreatif memang mengizinkan “pelanggaran” kaidah bahasa demi keindahan dan retorika, tetapi itu tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak cermat. Ketika perlu melanggar, alangkah baiknya itu dilakukan dengan insaf, bukan dengan khilaf.

         Bahasa yang tertata dengan cermat dan apik akan menyenangkan siapa pun yang membaca atau mendengarnya. Kepintaran tenggelam tanpa keterampilan bahasa. Sebaliknya, kedunguan gemerlap berkat kepiawaian bahasa. Kebiasaan untuk melakukan swasunting terhadap tulisan dan mewawasi setiap kata yang diucapkan perlu ditumbuhkan untuk mewujudkan kecermatan dalam berbahasa.

Ketidakpedulian

Penyebab ketiga atau terakhir ialah ketidakpedulian. Ini yang paling sulit diatasi. Penulis Indonesia berhati-hati sekali ketika menulis dalam bahasa Inggris, tetapi tidak peduli dengan kesalahan berbahasa ketika menulis dalam bahasa Indonesia. Ini seperti lebih memperhatikan pasangan orang lain daripada pasangan sendiri.

         Ketidakpedulian sebenarnya juga dapat menjadi penyebab akar kesalahan berbahasa. Saya menyadari ini pada 2006 ketika mulai kembali mempelajari kaidah bahasa Indonesia secara autodidaktis. Saat itu saya peduli dengan bahasa saya ketika mempraktikkan di dalam tulisan di Wikipedia. Kepedulian itu membuat saya tahu dan cermat dalam menulis. Saya ingin menularkan itu kepada seluruh penutur bahasa Indonesia melalui Narabahasa.

         Bagaimana cara kita peduli terhadap bahasa Indonesia? Jika berangkat dari pengalaman kita untuk peduli terhadap hal lain, kepedulian mekar dari kesukaan atau penghargaan. Ketika kita menyukai dan menghargai seseorang, misalnya, kita akan peduli terhadap orang itu. Demikian juga dengan bahasa. Kepedulian terhadap bahasa Indonesia akan tumbuh ketika kita menyadari keindahan bahasa kita dan tidak melulu berpikir bahwa bahasa yang baku itu kaku.

Peran Narabahasa

Narabahasa menyadari ketiga penyebab kesalahan berbahasa itu. Sebagai penyedia layanan dan produk kebahasaan dengan visi “kuasai bahasa, kuasai dunia”, kami berusaha mengurangi ketidaktahuan, ketidakcermatan, dan ketidakpedulian penutur bahasa Indonesia. Ketidaktahuan kami kurangi antara lain dengan penyebaran informasi kaidah bahasa. Ketidakcermatan kami redam misalnya dengan menguraikan kesalahan berbahasa yang sering terjadi. Ketidakpedulian kami obati dengan mengungkapkan keindahan bahasa Indonesia melalui cerita.

         Alhamdulillah, dalam satu tahun terakhir upaya kami cukup disambut hangat. Kami merasa semakin banyak penutur bahasa Indonesia yang tahu, cermat, dan peduli terhadap bahasa Indonesia. Kami juga merasa semakin banyak Kerabat Nara yang bergabung dengan kami untuk mendukung prakarsa peningkatan keterampilan berbahasa. Tanpa Kerabat Nara, upaya kami laksana titik air di tengah samudra yang tak berdaya mengubah apa pun. Dengan Kerabat Nara, upaya kita akan menjelma menjadi ombak, bahkan tsunami, yang melanda dunia.

         Terima kasih, Kerabat Nara. Mari bersama kuasai bahasa, kuasai dunia.

         Salam takzim.