Mungkin nama Poerwadarminta tidak begitu dikenal di telinga orang awam. Padahal, dia merupakan salah satu tokoh bahasa Indonesia yang merupakan pemrakarsa Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) yang diterbitkan pada 1952. Kamus ekabahasa ini menjadi rujukan bahasa Indonesia baku dan dianggap sebagai tonggak leksikografi sebelum terbitnya KBBI pada 1988.

Lahir di Yogyakarta pada 12 September 1904, Wilfridus Josephus Sabarija Poerwadarminta lulus dari Normaalschool Ambarawa, sekolah guru, pada 1923. Dia tekun mempelajari bahasa secara mandiri dengan mengikuti pelbagai kursus bahasa, seperti Belanda, Inggris, Prancis, Sanskerta, Jepang, Melayu, dan Jawa Kuno. Kegetolannya mengantarkan dia untuk mengajarkan bahasa Melayu di Jepang. Selama mengajar di Negeri Sakura, Poerwa—sapaan akrabnya—mengikuti kuliah ekonomi dan sastra Inggris di Universitas Sophia. Dari pengembaraannya tersebut, Poerwadarminta menuangkan pengetahuannya ke dalam Kamus Nippon-Indonesia dan Puntja Bahasa Nippon (1942).

Sebenarnya, sebelum KUBI diterbitkan, Poerwa sudah menyusun beberapa kamus dan buku. Baoesastra Djawa I adalah kamus pertama yang dia terbitkan, yang berfokus pada bahasa Jawa Kuno. Bahkan, sebelum berangkat ke Jepang, dia memelopori tiga jilid buku sastra dan tata bahasa Jawa Kuno, Serat Mardi Kawi. Selain itu, dia juga turut menjadi salah satu penyusun Baoesastra Walandi-Djawi, kamus Belanda-Jawa yang terbit pada 1936.

Namun, dari semua karyanya, KUBI tetaplah karya dia yang paling sering diperbincangkan. Kurang lebih, penyusunan KUBI menghabiskan waktu selama sepuluh tahun. Poerwa menjadikan novel Layar Terkembang (1936) karya Sutan Takdir Alisjahbana sebagai sumber pengumpulan kata-kata. Poerwa juga memanfaatkan buku-buku lainnya dengan muatan kosakata yang umum digunakan sebelum tahun 1925. Setiap kata yang dipilih harus memenuhi syarat yang Poerwa tentukan sendiri, yakni telah dipakai di Medan, Batavia, Surabaya, Ambon, dan Makassar. Selain itu, setiap kata juga mesti terdapat dalam lima buku atau majalah dengan pengarang yang berbeda. Dia juga mencatatkan keterangan sumber pada setiap kata, batasan makna, serta contoh penggunaannya. Tak heran jika A. Teeuw dan Harimurti Kridalaksana mengapresiasi kerja keras seorang Poerwadarminta yang turut menyebarkan bahasa Indonesia di luar negeri setelah peristiwa monumental Sumpah Pemuda.

Bagi Poerwa, KUBI belum sempurna. Sebelum ajal menjemput, dia bahkan belum puas dengan mahakarya tersebut dan tidak berkesempatan untuk menggarapnya lebih jauh. Pada cetakan kelima, yakni tahun 1976, Pusat Bahasa “mengolah kembali” Kamus Umum Bahasa Indonesia. Penyempurnaan juga dilakukan pada cetakan ketiga belas pada 2003. Akan tetapi, entah mengapa, catatan pengantar dari Poerwadarminta tidak lagi disertakan.

Poerwadarminta merupakan salah satu tokoh bahasa Indonesia yang berjasa. Dia menorehkan kontribusi yang besar bagi leksikografi Indonesia lewat dedikasi dan ketekunan. Sepuluh kamus berhasil terbit dari tangannya. Bahkan, pada masa-masa akhir hidupnya, Poerwa masih sempat menyelesaikan ratusan lembar tulisan dengan bantuan pengetikan oleh putrinya. Dia jatuh sakit dan dilarikan ke Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta. Setelah melalui tindakan operasi, kesehatan Poerwadarminta makin menurun. Dia meninggal pada usia ke-64 pada 28 November 1968.

 

Rujukan:

Penulis: Yudhistira

Penyunting: Ivan Lanin