Sosiolinguistik merupakan disiplin ilmu yang mengawinkan ilmu sosiologi dan linguistik—dua bidang ilmu empiris yang mempunyai kaitan sangat erat. Ketika ilmu sosiologi dalam meneliti bahasa berfokus pada efek bahasa terhadap masyarakat, disiplin ilmu sosiolinguistik lebih berfokus pada aspek sosial di dalam bahasa itu sendiri. Sosiolinguistik juga didefinisikan sebagai bidang yang mengkaji hubungan antara bahasa dan gejalanya dengan masyarakat. Janet Holmes (1995) menyatakan bahwa sosiolinguistik mempelajari alasan mengapa manusia berbicara secara berbeda dalam konteks sosial yang berbeda. Sosioliguistik mengidentifikasi fungsi sosial bahasa serta cara bahasa digunakan untuk menyampaikan makna sosial. Sederhananya, Holmes mengatakan bahwa sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara bahasa dan aspek sosial masyarakatnya, serta hal-hal yang berkaitan atau memengaruhi keduanya.

Konferensi sosiolinguistik pertama yang berlangsung pada 1984 di University of California, Los Angeles, telah merumuskan adanya tujuh dimensi dalam penelitian sosiolinguistik. Ketujuh dimensi tersebut adalah (1) identitas sosial dari penutur; (2) identitas sosial dari pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi; (3) lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi; (4) analisis sinkronis dan diakronis dari dialek-dialek sosial; (5) penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran; (6) tingkatan variasi dan ragam linguistik; serta (7) penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik (Dittmar, 1976).

Cakupan dalam studi sosiolinguistik sangat luas, tetapi terdapat beberapa konsep dasar dalam bidang itu. Tiga di antara konsep dasar dalam sosiolinguistik adalah komunitas tutur, keragaman prestise, dan jaringan sosial. 

Pertama, komunitas tutur (speech community). Komunitas tutur merupakan konsep yang mendeskripsikan sebuah komunitas tertentu yang menggunakan bahasa dengan cara unik dan berterima dalam komunitas tersebut. Komunitas tutur ini dapat berupa segerombolan murid SMA, sekelompok anak punk, ataupun fan K-pop. Ciri anggota komunitas tutur adalah mereka sering mengembangkan slang atau jargon untuk kelompok mereka sendiri.

Kedua, keragaman prestise. Bahasa dapat dibedakan berdasarkan nilai positif dan negatif atau prestise rendah dan tinggi dalam masyarakat. Di dalam masyarakat, secara tidak langsung terdapat jenis bahasa yang menggambarkan prestise kelompok yang lebih tinggi dan lebih rendah. Di Jawa misalnya, bahasa Jawa yang digunakan di kalangan bangsawan Jawa (kelompok yang lebih tinggi) berbeda dengan bahasa Jawa yang digunakan masyarakat biasa (kelompok yang lebih rendah). Dalam konteks tersebut, bahasa telah menjadi penanda tinggi atau rendahnya prestise kelompok seseorang. 

Ketiga, jaringan sosial. Memahami bahasa dalam masyarakat artinya memahami jaringan sosial tempat bahasa tersebut berkembang. Jaringan sosial merupakan cara lain untuk mendeskripsikan hubungan antarindividu dalam komunitas berbicara tertentu. Jaringan sosial dapat menjadi ketat atau longgar tergantung pada bagaimana anggotanya berinteraksi satu sama lain. Semakin ketat jaringan sosial yang terjalin, maka semakin kuat pula perkembangan bahasa yang terjadi dalam komunitas berbicara tersebut.

 

Sumber

Dittmar, Norbert. (1976). Sociolinguistics A Critical Survey of Theory and Application. German: Edward Arnold Ltd.

Holmes, Janet. (1992). An Introduction to Sociolinguistics. 4th edition. New York: Routledge.

Wardhaugh, Ronald. (2006). An Introduction to Sociolinguistics. 5th edition. New York: Blackwell Publishing.

 

Penulis: Shafira Deiktya

Penyunting: Ivan Lanin