Tuhan Ada pada Detail

oleh Ivan Lanin

Saya sedang belajar menulis fiksi kepada Mas Sulak (A.S. Laksana). Kelas-kelas beliau disampaikan semata melalui surel. Setiap hari kami dikirimi bahan bacaan dan diminta mengerjakan latihan. Semua tanpa tatap muka, baik secara langsung maupun virtual melalui Zoom.

Sebagai orang yang seumur hidup menulis nonfiksi, tentu saja saya mengalami kesulitan ketika belajar menulis fiksi. Saya tidak imajinatif dan bahkan hampir tidak pernah bermimpi ketika tidur. Kalaupun bermimpi, saya tidak ingat mimpi saya itu. Saya memang suka membaca fiksi, seperti cerpen atau novel, dan juga menonton film, tetapi sering hanya ingat tokoh utama dan plot umumnya.

Kutipan dalam salah satu bahan kelas Mas Sulak menampar saya: God is in the detail. Tuhan ada pada detail. Petikan itu saya temukan pada bahan penulisan dialog tidak langsung. Mas Sulak mengatakan bahwa dialog tidak langsung dapat diperkaya dengan detail-detail yang relevan untuk membuat cerita lebih baik. Ini contoh yang beliau berikan.

“Saya bertemu Sabar Sardjono pagi itu di warung kecil dekat pos ronda dan ia menyampaikan, dengan suaranya yang tedengar seperti suara bocah, kabar tentang seseorang yang saya ingin melupakannya sepanjang hidup saya. Ia bercerita tentang Mirah. Dalam suara bisik-bisik seperti sedang menyampaikan rahasia, ia bilang bahwa dua hari lalu perempuan yang pernah menjadi istri saya itu datang menemuinya dan menceritakan, dengan drama dan cucuran air mata,  bahwa dirinya hamil lagi, dengan lelaki yang kabur setelah tahu bahwa ia hamil.”

Cerita singkat itu menggambarkan banyak hal detail tentang karakter, latar (setting), dan konflik. Kita jadi tahu ada hubungan tertentu antara tokoh utama (Saya) dan Mirah. Kita pun jadi penasaran apa yang terjadi terhadap Mirah. Rasa penasaran yang diterbitkan sebuah cerita merupakan resep mujarab yang membuat cerita menjadi memikat.

Ini paradoks! Saya pernah mengetwit, “Titik koma saja kuperhatikan, apalagi kamu.” Sebagai mantan editor, saya sangat memperhatikan ketertiban ejaan, pemilihan kata, keefektifan kalimat, keutuhan paragraf, dan kelengkapan wacana. Namun, saya kadang abai dengan pesan yang tersirat. Tidak heran kalau dahulu—sampai sekarang masih, sih—istri saya sering memprotes, “Kamu ndak pernah nyimak!”

Adagium bahasa Inggris God is in the detail, yang sering dianggap dinyatakan oleh arsitek kelahiran Jerman Ludwig Mies van der Rohe (1886–1969), menegaskan pentingnya detail. Dalam berbahasa, perhatian terhadap detail kita wujudkan dalam bentuk pasif dan aktif. Ketika berbahasa secara pasif, kita berusaha menangkap pesan tersirat dari kawan bicara atau penulis. Ketika berbahasa secara aktif, kita memikirkan apa yang kita sampaikan secara detail agar kawan bicara dapat menangkap pesan sesuai dengan yang kita maksud, bahkan dalam bentuk yang tersirat, bukan tersurat.

Saya mau belajar lagi menulis fiksi dengan memperhatikan detail, ah. Untungnya, rangkaian Kelas Daring Praktis (KDP) akan diselenggarakan pada 28 Mei–10 Juli 2021 nanti. Di antara dua puluh kelas yang disediakan pada KDP itu, ada kelas Kiat Bercerita yang diampu Mbak W (Windy Ariestanty). Saya mau ikut lagi kelas itu. Kerabat Nara mau ikut?

Anda mungkin tertarik membaca

Tinggalkan Komentar