Sedikit Demi Sedikit, Lama-lama Menjadi Bukit

oleh Qinthara Silmi Faizal

Pada suatu pagi, saya terbangun oleh nada dering yang cukup keras dari ponsel. Karena masih setengah sadar, saya refleks memencet tombol merah dan kembali menarik selimut. Belum sampai satu menit, ponsel saya berdering kembali. “Wah, penting, nih, kayaknya,” kata saya dalam hati. Akhirnya, saya mengangkatnya dan terdengarlah suara perempuan di ujung sana yang terasa tergesa-gesa. “Halo, maaf, ya, Sil, ganggu pagi-pagi gini. Aku mau tanya sesuatu penting, nih.” Ternyata itu Widya, teman saya semasa SMA. “Iya, halo, Wid. Nggak apa-apa, kok. Mau tanya apa?” Dia lekas menjawab, “Gawai tuh maksudnya gadget, ‘kan? Berarti, laptop dan tablet itu bisa disebut gawai?” Sontak saya terkejut. Untuk apa dia menelepon saya pagi-pagi kalau hanya menanyakan arti gawai? Akhirnya saya jawab, “Betul.  Laptop dan tablet bisa disebut gawai. Memangnya ada apa, Wid? Kenapa tanya aku?” Saya jelas penasaran karena dia sebetulnya bisa dengan mudah mencarinya di Google. Dia menjawab sambil terkekeh, “Iya, sepupuku mau ujian dan salah satu syaratnya adalah menggunakan gawai yang terkoneksi dengan internet. Dia bingung maksud gawai itu. Aku inget kalau kamu kerja di Narabahasa dan yakin pasti lebih paham tentang kayak gitu.” Ketika mendengar penjelasan itu, saya terpana.

Kejadian seperti itu tidak hanya terjadi satu atau dua kali, tetapi beberapa kali. Teman-teman saya kerap melontarkan berbagai pertanyaan seputar kebahasaan, padahal saya merasa tidak tidak terlalu mahir untuk menjawab pertanyaan mereka, apalagi saya tidak berlatar belakang pendidikan bahasa Indonesia. Banyak rekan saya di Narabahasa yang jauh lebih cakap untuk menjawab. Jujur saja, ketika awal bergabung, saya sempat merasa minder. Namun, seiring berjalannya waktu, saya malah tertantang untuk lebih banyak belajar bahasa Indonesia. 

Mungkin, karena teman-teman saya tahu kalau saya bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang edukasi kebahasaan, saya dijadikan tempat mencari jawaban bagi tiap pertanyaan seputar bahasa. Saya pun bersyukur karena citra Narabahasa terbangun dengan baik di lingkungan pertemanan saya. Bekerja di Narabahasa memang membuat saya mendapat banyak pengalaman dan ilmu mengenai bahasa Indonesia. Tidak hanya itu, pertanyaan-pertanyaan yang Kerabat Nara ajukan melalui media sosial dan kanal layanan pelanggan Narabahasa juga mendorong saya untuk sedikit demi sedikit belajar bahasa Indonesia. 

Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit. Saya percaya, meski kita baru sedikit mempelajari suatu hal, lama-lama pasti akan ada hasilnya. Mempelajari bahasa Indonesia juga seperti itu. Kita tidak bisa secara instan menjadi seorang ahli bahasa. Salah satu cara yang bisa kita lakukan adalah terus mempelajari dan mempraktikkannya. Saya percaya, langkah kecil yang kita lakukan saat ini untuk mempelajari bahasa Indonesia dengan baik dan benar akan menghasilkan kebermanfaatan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Jadi, jangan berhenti untuk mempelajari dan mencintai bahasa Indonesia, ya, Kerabat Nara. 

Anda mungkin tertarik membaca

Tinggalkan Komentar