Perjalanan Merangkai Kata

oleh Qinthara Silmi Faizal

Akhir-akhir ini saya merasa sedikit kesulitan mengistirahatkan pikiran ketika hendak tidur. Pasti ada saja hal-hal yang membuat saya lewah pikir sebelum akhirnya memejamkan mata. Salah satu hal yang saya pikirkan adalah nawala ini. Saya memikirkan topik apa yang akan saya tulis. Tidak terasa lima belas menit berlalu dan saya hanya diam mematung di depan layar laptop yang menampilkan latar putih kosong. Rasanya, dengan seperti itu, pikiran saya malah makin keruh. Akhirnya saya mengambil buku catatan dan iseng menggambar untuk menjernihkan pikiran.

Ketika menggoreskan pena, saya teringat akan momen masa kecil. Ketika itu, saya adalah anak perempuan berusia sepuluh tahun yang selalu membawa buku catatan kecil di saku seragam. Buku catatan itu berisi ide-ide yang kelak saya tuangkan menjadi sebuah cerpen. Saya tidak tahu apakah Kerabat Nara pernah merasakan hal yang sama, tetapi sering kali saya mendapatkan ide cerita di tempat-tempat tidak terduga, seperti halte bus, kantin sekolah, stasiun, dan lapangan tenis. Saya adalah tipe orang yang mudah lupa sehingga harus segera mencatat. Oleh karena itu, saya selalu membawa buku tersebut. Kebiasaan itu saya lakukan sampai masa SMA. Setelahnya, entah mengapa, frekuensi saya menulis cerpen mulai berkurang.

Berdasarkan memori itulah saya memutuskan untuk membahas aktivitas menulis dalam nawala kali ini. Bisa dibilang menulis adalah salah satu hobi saya. Ketika pikiran sedang runyam, saya segera mengambil buku catatan dan menuangkan isi pikiran. Meskipun saat ini teknologi sudah canggih, saya belum bisa lepas dari buku catatan. Entah mengapa ada sensasi yang berbeda ketika menuangkan ide sembari mencoret-coret kertas dibandingkan “mencoret” layar tablet.

Kendati sudah terbiasa untuk menuangkan pikiran menjadi sebuah tulisan, saya pernah beberapa kali mengalami hambatan penulis atau writer’s block. Salah satunya ketika saya mengerjakan skripsi. Wah, kalau diingat-ingat lagi, saya cukup tertekan dan lewah pikir saat itu. Saya merasa ragu dengan diri saya sendiri dan berpikir, “Sebetulnya saya bisa menulis dengan baik, ndak, sih? Apakah penulis-penulis terkenal pernah mengalami hambatan seperti saya atau ndak, ya?” Pertanyaan tersebut akhirnya terjawab ketika saya bekerja di Narabahasa. Ada satu program Narabahasa bernama Kinara (Kicauan Narabahasa) yang bertujuan untuk membagikan pengalaman para penulis terkenal, seperti Dee Lestari, Iqbal Aji Daryono, dan Dea Anugrah, ketika menciptakan karyanya. Salah satu pertanyaan yang harus mereka jawab ialah cara mengatasi hambatan penulis. Dari situ, akhirnya saya sadar bahwa penulis sekelas mereka saja masih sering mengalami hambatan.  

Nah, Sabtu ini, 30 Oktober 2021, Narabahasa akan mengadakan Festival Menulis sebagai acara terakhir dari rangkaian Festival Tetralogi. Karena ingin meningkatkan kemampuan menulis, saya pasti akan ikut. Bagaimana dengan Kerabat Nara? Yuk, kita belajar bersama dalam Festival Menulis!

Anda mungkin tertarik membaca

Tinggalkan Komentar