Saya ingat, malam lalu, ketika memikirkan ide tulisan ini, saya iseng berkata kepada saudara saya, “Sebentar lagi saum, ya.” Ia yang tadinya asyik dengan layar laptopnya sontak memalingkan wajah ke arah saya, mengernyit meminta penjelasan. Sewaktu melihat wajahnya yang menyebalkan, saya makin iseng, “Iya, saum, ‘kan, sebentar lagi?” Dia pun berdecak kesal, “Saum apaan, sih?” Saya tertawa melihat wajahnya yang makin keruh. “Puasa,” ujar saya sambil terkekeh. Ia kemudian meminta penjelasan lebih lanjut, “Bahasa mana, tuh?” Saya pun menjawab spontan, “Bahasa Indonesia-lah! Bahasa mana lagi?” “Oooooo,” sambutnya panjang.

Sebenarnya kata saum berasal dari bahasa Arab الصَّوْمُ (ash-shaum) yang berarti ‘menahan diri dari sesuatu; mencegah; meninggalkan’. Kata tersebut kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi saum yang memiliki arti lebih sederhana: ‘puasa’. Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), puasa sendiri memiliki arti ‘meniadakan makan, minum, dan sebagainya dengan sengaja (terutama bertalian dengan keagamaan)’ atau, secara spesifik dalam istilah keislaman, KBBI mengartikannya ‘salah satu rukun Islam berupa ibadah menahan diri atau berpantang makan, minum, dan segala yang membatalkannya mulai terbit fajar sampai terbenam matahari; saum’. 

Tidak terasa, dalam hitungan minggu, kita akan menyambut kembali bulan puasa, bulan saum, bulan suci Ramadan. Tidak perlu ribut perkara memilih istilah mana yang lebih tepat. Bagi saya, itu terserah Kerabat Nara untuk menggunakan istilah yang dirasa lebih tepat. Dalam tulisan ini, karena saya memulainya dengan kata saum, saya akan menyebutnya bulan saum.

 “Lo, nanti dibilang tidak berbahasa yang baik dan benar?” Saya tanya balik, ya, “Kata siapa?” Berbahasa yang baik dan benar adalah berbahasa yang sesuai dengan konteks dan kaidahnya.

Jangan lupakan konteks karena bahasa akan terdengar aneh tanpa penyesuaian terhadap konteks: apa yang dibicarakan, siapa lawan bicaranya, dan di mana tempat kita berbicara. Bahkan, dosen saya pernah berkata, “Selama lawan bicaramu memahami apa yang kamu katakan, kamu sudah berbicara dengan baik.” Sementara itu, berbahasa dengan benar berarti berbahasa sesuai kaidah bahasa Indonesia yang telah diatur oleh para pakar bahasa, seperti kata baku dalam KBBI dan ejaan yang diatur dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI). Jadi, jangan lagi menganggap bahwa satu-satunya pengertian bahasa yang baik dan benar adalah bahasa yang formal. Namun, jangan pula menjadikan hal itu sebagai alasan untuk tidak mau mengenal lebih dekat bahasa Indonesia yang benar, ya—bahasa Indonesia yang sesuai dengan kaidahnya. Lagi pula, kita juga bisa berbahasa yang baku, tetapi tidak kaku, lo. Tidak percaya? Lihat saja akun media sosial Narabahasa. Nara sering memberikan rekomendasi penggunaan kata baku yang tidak kaku. Bahkan, dalam kelas-kelasnya, Narabahasa juga memberikan kiat berbahasa baku tak kaku dalam kehidupan sehari-hari, lo! Layaknya mengatur asupan makanan dan minuman saat saum, kaidah dan konteks dalam berbahasa juga harus seimbang dan disesuaikan dengan porsi masing-masing.

Kembali pada pembahasan mengenai saum, walaupun secara harfiah bulan saum adalah bulan suci umat Islam, saya rasa kita—setidaknya yang tinggal di kota dengan mayoritas muslim di Indonesia—sepakat bahwa bulan ini juga memiliki tempat tersendiri di hati yang tidak merayakannya. Bulan saum bukan sekadar perkara ibadah yang sedang dilakukan atau cara menjadi orang paling taat di mata Tuhan selama satu bulan. Lebih dari itu, bagi saya, bulan ini mengajarkan kita menjadi manusia yang utuh. Pada bulan saum, orang-orang berlomba untuk memberi makanan, minuman, pakaian, hingga uang kepada orang lain. Kita mengambil sedikit banyak porsi dalam perlombaan kebaikan itu. Menariknya, hal tersebut tidak hanya dilakukan oleh umat Islam, tetapi juga oleh yang bukan. Kita seolah didorong untuk membuka mata lebih lebar, memberi lebih banyak, mengasihi sesama manusia secara utuh, dan memfitrahkan diri kita selama satu bulan penuh. 

Begitu pula Narabahasa. Nara tidak ingin ketinggalan untuk ikut berbagi pada bulan penuh kebaikan yang akan segera menghampiri. Pada bulan saum nanti, Nara ingin berbagi ilmu dalam Kelas Ngabuburit Narabahasa (KNN) yang merupakan program “pesantren bahasa” daring selama bulan saum 2021. Terdapat lima belas kelas yang telah Nara siapkan, seperti Kiat Menulis Surat Resmi, Kiat Menulis Konten Media Sosial, Kiat Menulis Skripsi, serta Kiat Memilih Kata dan Istilah. Selain itu, masih ada sebelas kelas lainnya. Seperti namanya, kelas-kelas ini akan dilaksanakan pada waktu ngabuburit, waktu menunggu beduk magrib berbunyi, yaitu pukul 15.30—17.00 WIB. Untuk informasi selengkapnya, Kerabat Nara dapat mengunjungi situs sinara.narabahasa.id, ya.

Oh, ya, satu lagi. Nara juga mempunyai grup Telegram, lo. Kerabat Nara dapat bergabung melalui tautan http://s.id/kerabatnara. Dalam grup Telegram ini, Kerabat Nara dapat berbagi pengalaman kebahasaan dan bertanya-jawab langsung dengan Tim Nara perkara kebahasaan. Jadi, kami tunggu, ya. Semoga Kerabat Nara senantiasa sehat dan berbahagia di tengah kehidupan yang semakin tidak menentu ini. Sampai jumpa di grup Telegram atau di Kelas Ngabuburit Narabahasa, ya!