Sekitar seminggu yang lalu, saya membaca informasi lucu yang bersumber dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Saking lucunya, saya sampai tertawa miris seraya bergunjing kritis dalam grup kelompok pertemanan saya di WhatsApp. Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat, Wawan Wardiana, berujar bahwa KPK berencana mengganti istilah koruptor menjadi penyintas dengan alasan bahwa pelaku telah menjalani proses hukum dan mendapat pelajaran berharga. 

Nomina penyintas yang di KBBI bermakna ‘orang yang mampu bertahan hidup’ memang sudah menjadi istilah yang akrab kita temui, misalnya pada penyintas perang, penyintas Covid-19, dan penyintas kanker. Ketiga permisalan tersebut sungguh berterima sebab hal yang menimpa para penyintas terjadi di luar kehendak. Selain itu, ketiga permisalan tersebut juga menunjukkan bahwa penyintas adalah korban yang berhasil berjuang sehingga mampu bertahan hidup. Lantas, apakah alasan serupa juga terjadi pada penyintas korupsi yang justru merupakan pelaku? 

Menurut hemat saya, rencana perubahan istilah koruptor menjadi penyintas jelas melanggar syarat pertama pembentukan suatu istilah. Dalam Pedoman Umum Pembentukan Istilah, ada lima syarat yang mesti dipenuhi untuk membentuk satu istilah baru. Meski umumnya pedoman tersebut diterapkan untuk memadankan istilah asing menjadi istilah Indonesia, saya pikir kelima syaratnya dapat menjadi pertimbangan lembaga yang berkehendak mengganti atau membuat istilah. 

Syarat pertama ialah tepat. Kata atau gabungan kata yang dibentuk harus mampu mengungkapkan sebuah konsep dengan tepat dan tidak boleh menyimpang dari makna yang dimaksud. Mari kembali pada topik utama. Jika istilah penyintas korupsi ditentang oleh banyak pihak dan menuai banyak kritik, apakah istilah tersebut dapat disebut tepat?

Syarat pembentukan istilah yang kedua sampai kelima ialah ringkas, berkonotasi baik, eufonik atau enak didengar, dan sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Saya tidak akan menguraikan secara terperinci keempat syarat tersebut sebab itu merupakan tugas Uda Ivan Lanin dalam KDP Pemilihan Kata dan Istilah.

Dengan merujuk pada konteks makna dan syarat pembentukan istilah di atas, saya dapat menyebut bahwa diri saya adalah penyintas. Kerabat Nara yang membaca nawala ini pun adalah penyintas. Kita mampu melewati segala cobaan yang terjadi di luar kehendak kita sebagai manusia. Bukti bahwa kita penyintas adalah keberadaan napas yang sampai detik ini masih bolak-balik melalui lubang hidung. Ya, kita adalah penyintas, bukan koruptor. Lantas, jika bukan penyintas, istilah apa, ya, yang cocok untuk menjadi pengganti istilah koruptor? Nah, rekan saya, Yudhistira, sudah mengusulkannya dalam artikel harian Narabahasa berjudul “Koruptor: Penyintas atau Maling?”. 

Salam sintas,

Dessy Irawan

 

Referensi: 

Pedoman Umum Pembentukan Istilah: Edisi Ketiga. 2005. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.