2020 adalah tahun yang penuh dengan kejutan. Jujur, puluhan tahun menjalani hidup, tidak pernah terpikir oleh saya bahwa semua hal yang biasanya dilakukan dengan tatap muka, saat ini dilakukan secara daring. Sebut saja: rapat, sekolah, sidang hukum, sampai wisuda.
***
30 April 2020. Entah kenapa, saya letih sekali. Padahal, sudah lebih dari tiga pekan saya menjalani segalanya di rumah. Mulai dari rapat pekerjaan atau sekadar buka puasa bersama dengan kawan lama. Kala itu, semuanya terasa berbeda. Biasanya, berpuluh-puluh undangan buka puasa bersama masuk melalui pesan WhatsApp. Dari lingkungan kawan pendidikan dasar sampai universitas. Dari geng A, sampai kelompok Z. Kali ini, semua berbeda. Demi kebaikan bersama, kami tidak diperkenankan bersua secara langsung.
Aneh rasanya, menatap layar dalam waktu yang lebih dari satu jam. Membayangkan lensa kamera adalah mata teman-teman lama, yang mungkin lebih dari satu tahun tak berjumpa. Tertawa, bercanda, terkadang mengeluh bila sedang bercerita premis lawakan dan tiba-tiba internet bermasalah bila masuk ke bagian tohokan (punchline). Diakhiri dengan tampilan “This meeting has been ended by the host”, bukan salam erat dan rencana pertemuan selanjutnya.
Akan tetapi, rasanya selalu sama. Rasa yang ada setelah bertemu puluhan ruang rapat virtual, dengan berbagai agenda dan acara: tak penting bagaimana kita bertemu dan berpisah, kehangatan itu akan selalu ada. Kehangatan bertemu dengan cara kenormalan baru, yang bisa mempertemukan semua kawan dalam sekali sentuhan. Tanpa harus sulit mengatur jadwal, memesan restoran, dan datang dua jam lebih awal untuk mempersiapkan segalanya.
***
Empat bulan setelahnya, 30 Agustus 2020. Semua mulai terasa normal pada akhirnya. Membiasakan tetap bangun pagi untuk menyelesaikan pekerjaan, rapat virtual pada siang hari, dan kembali menyelesaikan pekerjaan pada sore hari. Hati kecil saya masih sering berkata, “Kapan ya, saya bisa tatap muka kembali dengan kolega?” yang saya sendiri tak tahu jawabannya. Namun, otak saya pun berpikir sebaliknya. Bila kondisinya tak serba daring seperti ini, saya yakin saya tidak bisa menghadiri seminar yang diadakan oleh Harvard University secara gratis, atau bahkan menjadi moderator kelas daring Narabahasa ketika Pak Ivan Lanin berada di Jakarta dan saya di Surabaya.
Saya tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa saya akan mengadakan Aksaraloka, kegiatan dengan tema “memanusiakan literasi” yang juga menyediakan ruang untuk berderma pada komunitas pegiat literasi, dan dihadiri oleh beberapa orang hebat di Indonesia, dengan waktu perencanaan yang hanya satu bulan. Semuanya ada karena kenormalan baru.
Kenormalan baru tak akan bisa benar-benar “normal” bila kita tak menjalaninya sebagai tanggung jawab bersama. Salam hormat dari saya pula untuk semua tenaga kesehatan dan pekerja publik yang sampai detik ini masih berjuang agar semua hal yang kita lakukan menjadi sebuah kenormalan yang benar-benar baru. Sementara kita mendoakan yang terbaik, sambil mematuhi protokol kesehatan yang dianjurkan: mencuci tangan, menggunakan masker, dan perhatikan protokol ventilasi-durasi-jarak.
Akhirnya, semuanya tetap akan membuahkan hikmah dan dunia akan tetap berputar. Pertanyaannya: apakah kita siap untuk terus beradaptasi dan bertanggung jawab bersama-sama?
Salam takzim,
Mochamad Alviensyah
Pramubahasa